Ada sebuah fenomena yang menarik dari kasus tewasnya Santoso teroris yang paling diburu oleh Polisi sejak 5 tahun terakhir. Muhammad Syafii yang menjabat sebagai Ketua Pansus RUU Terorisme ternyata memiliki fakta dan cara pandang sendiri dalam menyikapi kasus Santosa ini. Menurutnya bagi masayarakat Poso, terror yang sesungguhnya justru datang dari petugas kepolisian yang banyak melakukan pelanggaran HAM berat, hal tersebut kemudian melahirkan kebencian dan dendam masyarakat Poso terhadap aparat kepolisian.

"Para pendeta, ustad, tokoh masyarakat, tokoh pemuda sepakat dengan satu kata, mereka sangat benci dengan polisi karena telah lakukan pelanggaran HAM berat," kata Syafii di Gedung DPR RI Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/7).

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh pengamat terorisme dari Barometer Institute, Robi Sugara. Menurut Robi, ada salah satu yang menarik dari wilayah Poso, yaitu ada statement jika Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso, tidak baiat dengan ISIS ada masyarakat Poso yang akan dukung Santoso.

Robi mengatakan, ketika di Poso, Santoso menarik anak-anak muda yang ingin berjihad, tapi tidak bisa pergi ke Suriah. Ada dua jenis jihad kital atau perang yang diyakini, yaitu jihad besar dan jihad kecil. Santoso menarik orang untuk jihad kecil atau jihad dekat. Gerakan jihad ini untuk membunuh polisi.

Kenapa masyarakat Poso begitu benci pada polisi? Robi menjelaskan, bahwa hal tersebut terjadi saat pasca konflik Poso dimana ada banyak fihak yang merasa masih diperlakukan tidak adil. Pada saat itu, banyak masyarakat yang tewas karena operasi-operasi yang dilakukan oleh aparat keamanan.

"Ada operasi yang ratusan orang ditembak polisi, saat itu keluarganya melihat atau jika tidak mereka melihat ketika dimandikan," kata Robi, Rabu, pekan lalu.

Robi mengatakan, Santoso menjadi orang yang memimpin gerakan untuk balas dendam kepada polisi. Karena gerakan itu, Santoso yang sebelumnya bukan siapa-siapa menarik perhatian banyak orang.
Santoso kemudian melakukan baiat kepada ISIS untuk menarik perhatian internasional. Walaupun sebenarnya, menurut Robi, Santoso tidak tertarik berjihad di Suriah. "Ini bukan persoalan hagemoni, ini persoalan Santoso mengekpresikan sikap beberapa orang yang melihat konflik tidak diselesaikan dengan adil," kata Robi.

Kembali menurut Muhammad Syafii, banyak tindakan polisi yang semena-mena dalam menangani tersangka kejahatan di Poso. Tindakan tersebut malah menimbulkan kebencian. "Penjahat kayak apa? dia (polisi) datangi itu ke rumah malam-malam, lampu dimatiin lalu mata dilakban, mulut dilakban dibawa lalu dipukulin. Semua penanganan kayak gitu. Dan itu terjadi di depan anaknya, istrinya, itu timbulkan kebencian," kata Syafii.

Saat ini, setelah meninggalnya Santoso, suasana di Poso sangat aman dan tentram. Itu karena polisi tak lagi di sana.

Sebagai bukti, kata Syafii, jenazah Santoso disambut dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan dengan membawa tulisan "selamat datang syuhada". Sementara di sisi lain, mereka menginginkan agar aparat kepolisian angkat kaki dari kota mereka.

"Sekarang jadi siapa yang dianggap teroris? Santoso malah disambut, sementara polisi di suruh angkat kaki," kata Syafii.

Santoso dan rekannya Mukhtar tertembak dalam baku tembak operasi Tinombala di Poso, Senin (18/7). Saat ini, anggota kelompok Santoso masih tersisa 18 orang. Sementara istri Santoso, Jumiatun alias Umi Delima tertangkap ketika turun gunung untuk mencari makanan.

Polri mengimbau supaya kelompok tersebut tidak melakukan aksi balas dendam usai tertembaknya Santoso yang dianggap sebagai pimpinan jaringan teroris tersebut.

"Balas dendam adalah perbuatan yang tidak bagus, tidak baik. Lebih bagus kita menjauhkan diri dari sifat-sifat seperti itu," ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar.

Boy juga mengimbau kepada seluruh anggota polisi di manapun berada untuk selalu meningkatkan kesiapsiagaan. Bisa saja, kata Boy, tantangan polisi selanjutnya adalah menjadi korban serangan teror.

"Itu sudah dipahami oleh anggota polisi. Kita akan menghadapi risiko seperti itu dan itu adalah resiko yang harus kita ambil. Namanya juga alat negara, penegak hukum untuk berjuang menjunjung tinggi kebenaran pasti ada risikonya," kata Boy.

Boy mengatakan, yang terpenting bagi polisi adalah terjamin keselamatan, kenyamanan, dan kedamaian di masyarkat itu sendiri. Bagaimanapun, kata dia, sudah menjadi komitmen polisi untuk mengatasi masalah terorisme dan bersinergi dengan kekuatan masyarkat.

"Itu yang kita harapkan nanti bisa menjadi sebuah titik temu timbulnya sebuah daya cegah negara untuk menghadapi aksi teror. Jadi sinergi antar-unsur pemerintah dengan unsur masyarakat itu sangat penting, karena menjalin kekuatan yang utama dan kami yakin bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menginginkan aksi-aksi kekerasan itu tidak ada," jelasnya.

 

Sumber: Republika

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama