Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian hari ini menjelaskan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan penyelidik Badan Reserse Kriminal mengenai penetapan status Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka kasus penistaan agama.
Perbedaan pendapat di antara para penyelidik kepolisian, menurut dia, terjadi setelah menyimak penjelasan para ahli yang dihadirkan pelapor maupun terlapor dalam gelar perkara di Mabes Polri, Selasa (15/11).
Kendati suara penyelidik tidak bulat untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka perkara penistaan agama, Tito menjelaskan, namun mayoritas dari mereka memutuskan untuk menetapkan calon gubernur DKI Jakarta nomor urut 2 itu sebagai tersangka.
"Penyelidik yang berjumlah 27 orang terjadi beda pendapat, ada yang mengatakan pidana ada yang mengatakan tidak. Namun sebagian besar didominasi yang mengatakan itu adalah pidana," kata Tito.
"Dalam gelar perkara kemarin yang sangat transparan, terlihat jelas terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli sehingga mempengaruhi penyidik. Penyidik menjadi berbeda pendapat, tidak bulat, meskipun didominasi oleh mereka yang menyatakan ini pidana. Karena tak bulat, maka unsur objektif yang menyatakan pidana tidak mutlak dari penyidik dan ahli," lanjut Tito.
Pendapat penyelidik yang tidak bulat membuat polisi sepakat menetapkan Ahok sebagai tersangka agar selanjutnya pembuktian bisa dilakukan di pengadilan secara terbuka, seperti yang pernah diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo.
"Tapi catatan di sini adalah tidak bulat perbedaan ini. Oleh karena itu mereka sepakat untuk mengajukan perkara ini di pengadilan yang lebih terbuka karena tadinya kami ingin pada gelar perkara itu, Bapak Presiden meminta secara terbuka, live, semua warga Indonesia bisa melihat," ucap Tito.
Polisi menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama berdasarkan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kepolisian juga mencegah Ahok bepergian keluar negeri.
Sumber: Antara
Perbedaan pendapat di antara para penyelidik kepolisian, menurut dia, terjadi setelah menyimak penjelasan para ahli yang dihadirkan pelapor maupun terlapor dalam gelar perkara di Mabes Polri, Selasa (15/11).
Kendati suara penyelidik tidak bulat untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka perkara penistaan agama, Tito menjelaskan, namun mayoritas dari mereka memutuskan untuk menetapkan calon gubernur DKI Jakarta nomor urut 2 itu sebagai tersangka.
"Penyelidik yang berjumlah 27 orang terjadi beda pendapat, ada yang mengatakan pidana ada yang mengatakan tidak. Namun sebagian besar didominasi yang mengatakan itu adalah pidana," kata Tito.
"Dalam gelar perkara kemarin yang sangat transparan, terlihat jelas terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli sehingga mempengaruhi penyidik. Penyidik menjadi berbeda pendapat, tidak bulat, meskipun didominasi oleh mereka yang menyatakan ini pidana. Karena tak bulat, maka unsur objektif yang menyatakan pidana tidak mutlak dari penyidik dan ahli," lanjut Tito.
Pendapat penyelidik yang tidak bulat membuat polisi sepakat menetapkan Ahok sebagai tersangka agar selanjutnya pembuktian bisa dilakukan di pengadilan secara terbuka, seperti yang pernah diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo.
"Tapi catatan di sini adalah tidak bulat perbedaan ini. Oleh karena itu mereka sepakat untuk mengajukan perkara ini di pengadilan yang lebih terbuka karena tadinya kami ingin pada gelar perkara itu, Bapak Presiden meminta secara terbuka, live, semua warga Indonesia bisa melihat," ucap Tito.
Polisi menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama berdasarkan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kepolisian juga mencegah Ahok bepergian keluar negeri.
Sumber: Antara
Posting Komentar