Belakangan ini arti kata Auliya dalam Al-Qur’an khususnya yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 51 banyak disoroti oleh berbagai kalangan, bahkan beberapa kalangan yang tidak memiliki kapasitas untuk menafsirkannya ikut-ikutan menafsirkan arti kata Auliya. Kondisi tersebut tidak lepas dari kepentingan yang melatarbelakanginya dan seharusnya untuk penafsiran ayat ini diserahkan kepada para Ahli yang memang memiliki kapasitas untuk menafsirkannya. Selain itu untuk memaknai arti kata auliya seseorang tidak boleh terbebani oleh kepentingan kecuali hanya berdasarkan pada pemahaman yang benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah semata.
Ada banyak kaidah dalam ilmu tafsir yang harus difahami oleh seseorang sebelum menafsirkan sebuah ayat. Untuk tugas ini harus diserahkan kepada Ulama yang memang benar-benar memiliki pengetahuan tentangnya dan ulama-ulama terdahulu telah memberikan penafsiran tentang hal ini jauh sebelum arti kata Auliya diperdebatkan berdasarkan kepentingan masing-masing kelompok. Artikel ini akan membahas bagaimana para Ulama terdahulu menafsirkan arti kata Auliya dalam konteks memilih pemimpin.
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan tentang hal ini, silahkan baca kembali pada artikel berjudul:
Haram Memilih Pemimpin Non Muslim, Begini Seharusnya Memilih Pemimpin Muslim Yang Ideal
Perlu diketahui bahwa Al Quran sebagai Nash (teks) Syariat jelas tidak hanya dipahami secara tersurat/eksplisit/tekstual (manthuq) saja, namun juga dipahami secara tersirat/implisit/kontekstual (mafhum). Sebagai contoh firman Allah SWT Surat Al Isra’ (23):
“... maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah” ...” (QS. Al Isra’: 23)
Secara eksplisit, tersurat dan tekstual, ayat tersebut menunjukkan tentang keharaman berkata “ah” atau mengeluh kepada orang tua. Di sisi lain, para Ulama juga memandang bahwa ayat tersebut secara tersirat, implisit dan konstekstual menunjukkan keharaman memukul orang tua. Mengapa demikian? Karena sebab diharamkannya mengeluh adalah menyakiti perasaan orang tua, tentunya unsur menyakiti juga ada pada memukul, bahkan lebih nampak. Sehingga, Ulama juga mengharamkan memukul orang tua dengan ayat yang sama.
Metode memahami Nash Syar’i seperti ini, oleh para Ulama disebut Mafhum Muwafaqoh atau dalam Madzhab Hanafi disebut Dalalah An Nash. Al Imam Az Zarkasyi dalam kitabnya Tasynif Al Masami’ (1/343) menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di antara Ulama tentang keabsahan metode ini dalam pengambilan hukum.
Dalam konteks Al Maidah 51, jikalau ada yang bersikeras bahwa arti kata auliya secara eksplisit hanya berarti teman setia atau sahabat karib, maka dengan metode Mafhum Muwafaqoh kita bisa memahami bahwa ayat tersebut secara tersirat, implisit dan kontekstual mencangkup keharaman memilih pemimpin kafir. Karena, jika sahabat karib kafir yang imbasnya hanya kepada perorangan saja tidak boleh, APALAGI pemimpin kafir yang imbasnya merambat ke seluruh warganya yang beragama Islam.
Dengan demikian, menjadi jelas, baik ditinjau secara tekstual atau kontekstual, eksplisit atau implisit, tersurat atau tersirat, Al Maidah 51 tetap menunjukkan haramnya memilih Kafir sebagai pemimpin yang akan mengatur mayoritas umat Islam.
Berikutnya:
[nextpage title="Subhat Penafsiran Surat Al-Maidah Ayat 51"]
“Al Maidah 51 turun dalam konteks perang, sebagaimana disebutkan dalam asbabun nuzul, jika sebuah negara dalam keadaan damai maka ayat ini tidak berlaku , sehingga tidak tepat jika Al Maidah dijadikan dalil haram dalam memilih pemimpin kafir.”
Jawaban:
Jika benar Al Maidah 51 turun saat keadaan perang, maka hal tersebut dalam kacamata Ushul Fikih, sebagai metodologi yang absah dalam pengambilan hukum, tidak masalah. Dalam ilmu Ushul Fikih terdapat kaidah:
“Yang menjadi tolak ukur adalah keumuman redaksi, bukan kekhususan sebab.”
Kaidah ini disebutkan oleh banyak Ulama, termasuk Al Imam As Subki dalam kitabnya Al Ibhaj bi Syarhi Al Minhaj (2/185). Kaidah ini memberikan pemahaman, walaupun ayat tersebut turun karena sebab yang spesifik, namun yang menjadi tolak ukur adalah redaksi auliya’ yang bersifat umum, sehingga mencangkup sahabat setia, teman karib, orang kepercayaan, pejabat dan pemimpin. Karenanya, para Ulama menjadikan ayat tersebut dan ayat lain yang semakna, sebagai dalil tentang haramnya memilih pemimpik Kafir
[nextpage title="Syubhat ke-2"]
“Ayat ini hanya berlaku dalam sistem pemerintahan klasik yang ada pada zaman Rasul SAW, Sahabat dan Dinasti Islam. Adapun saat ini, dalam negara demokrasi situasi serta kondisinya sudah sangat berbeda. Sehingga, keadaan seperti ini tidak masuk dalam konteks ayat.”
Jawaban:
Sudah menjadi sebuah keharusan bagi setiap Muslim untuk meyakini bahwa Allah SWT menurunkan Syariat-Nya yang tertuang dalam Al Quran sebagai pedoman hidup yang sudah pasti relevan dari masa ke masa, dari situasi ke situasi, serta kondisi ke kondisi lainnya. Karenanya, dalam Al Quran Allah SWT menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa Syariat diutus untuk seluruh umat manusia, tanpa mengenal sekat batas teritorial, suku dan waktu serta sistem pemerintahan yang diikuti oleh sebuah negara atau pilihan hidup yang dipilih oleh seseorang. Allah SWT berfirman:
“Dan tidaklah Kami mengutusmu kecuali untuk seluruh manusia sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan, akan tetapi banyak manusia tidak mengetahui.” (QS. As Saba: 28)
Sehingga, menjadi sebuah keniscayaan bahwa semua yang digariskan dalam Al Quran, termasuk keharaman memilih pemimpin kafir adalah relevan, dan akan selalu relevan, kapanpun, dimanapun hingga hari Kiamat, dan apapun konsep bernegara yang diterapkan. Jika ditinjau dari sudut pandang ilmu Ushul Fikih, Syeikhul Islam Zakariya Al Anshari dalam Ghoyatul Wushul (hlm. 288) menyebutkan:
Artinya, jika lafadz auliya’ yang mencakup makna pemimpin, maka keharaman memilih pemimpin tersebut berlaku lintas situasi, kondisi, tempat dan waktu. Lebih dari itu, ‘illat (alasan) yang menjadikan kafir tidak boleh jadi pemimpin adalah kekafirannya itu sendiri, sebagaimana nukilan kami sebelumnya dari Al Imam Al Mawardi (lihat Al Hawi Al Kabir 8/494), sehingga selama ‘illat kekafiran itu ada dan melekat pada diri si kafir, maka hukum haram memilih pemimpin kafir akan tetap berlaku. Karenanya, kita telah ketahui bersama bahwa semenjak zaman Sahabat hingga zaman Buya Hamka dan MUI, para Ulama tetap sepakat menjadikan Al Maidah 51 dan lainnya yang semakna sebagai dalil haramnya dalam memilih kafir sebagai pemimpin
[nextpage title="Syubhat-3"]
“Dalam konteks memilih pemimpin kafir, Prof. Dr. Quraisy Syihab (disingkat QS) dalam wawancara yang dimuat di media online, Beliau menjawab: “Kita lihat, jika mereka juga menginginkan kemaslahatan untuk kita, boleh tidak kita bersahabat? Quraisy Syihab meneruskan: “Jika antara pilot pesawat yang pandai namun kafir, dan pilot kurang pandai yang muslim, pilih mana? (sontak jamaah yang hadir pun tertawa)
Atau pilih antara dokter Nasrani yang kaya pengalaman, dan dokter muslim tapi minim pengalaman.” Dalam konteks seperti ini, bagi Quraisy Syihab tidak dilarang. Yang terlarang ialah melebur, sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan. Karena tidak ada lagi batas, kita menyampaikan hal-hal yang berupa rahasia pada mereka. Itu yang terlarang.”
Jawaban:
Dewan Pakar Aswaja Centre PWNU Jawa Timur; KH. Idrus Ramli menjawab dengan sangat gamblang. Beliau berkata bahwa jawaban QS di atas tidak memberikan jawaban, tidak mendidik layaknya seorang pakar, bahkan cenderung lari dari persoalan. Dalam ilmu logika atau ilmu jalad, pertanyaan yang bersifat general atau umum, tidak boleh dijawab dengan jawaban yang bersifat spesifik atau khusus dengan merujuk permasalahan tertentu. Karena akan memberikan banyak ruang yang tak terjawab, bahkan jawaban itu sama dengan lari dari persoalan yang ditanyakan.
Jika kita perhatikan, dialog di atas mempertanyakan hal yang bersifat umum, yaitu
“seandainya orang kafir menginginkan kemaslahatan kepada kita, bolehkah kita bersahabat?”
Jawaban dari pertanyaan ini seharusnya juga bersifat umum, tidak dilokalisir pada kasus tertentu seperti pilot atau dokter sebagaimana jawaban QS di atas. Persoalan seperti ini telah dijelaskan oleh para Ulama tentang hukum persahabatan dengan non-Muslim. Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata dalam Asna Al Mathalib fi Shilah Al Aqarib (hlm. 237): “Haram hukumnya bersahabat dengan orang kafir secara batin, dan makruh secara lahiriyah. Analoginya, haram pula bersahabat dengan orang fasik dan ahli bid’ah dengan hati, kecuali karena tujuan yang baik, seperti dengan kerabat, atau dugaan kuat ia akan memperoleh hidayah, dan seperti melihat pemberian dan pertolongan Allah kepadanya dengan Islam.”
Paparan di atas menjelaskan bahwa bersahabat dengan beda agama adalah MAKRUH dalam hubungan lahiriyah, dan HARAM dalam hubungan batiniyah, yaitu ketika saling mengetahui rahasia satu sama lain, saling mengasihi dan saling memihak. Sedangkan hubungan transaksi seperti jual beli, berobat, mengikuti mereka sebagai pilot, dsb, hal ini tidak termasuk menjadikan mereka sebagai auliya’ yang dilarang dalam Al Quran. Syaikh Muhammad At Thahir bin ‘Asyur ketika menafsirkan Al Maidah 51 dalam tafsirnya Al Tahrir wa Al Tanwir (6/213) berkata:
“Persahabatan yang paling rendah derajatnya adalah bekerjasama (dengan non-Muslim) dan berbaur dalam perdagangan dan semacamnya. Di bawah itu ada yang bukan muwalat (pertemanan sejati yang dilarang) sama sekali, yaitu muamalah. Nabi shallallaahu’alaihi wasallam telah bermuamalah dengan Yahudi Khaibar dengan akad musaqat, mempekerjakan mereka untuk menyiram pertanian kurma di Khaibar. Kami telah menjelaskan sebagian rincian hal ini pada firman Allah:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin,” (QS. Ali-Imran: 28).”
Walhasil, paparan di atas menjelaskan berbagai macam muamalah dan transaksi harian seperti jual beli, bekerja sebagai buruh, berobat dsb, dan tidak termasuk pada wilayah muwalah atau auliya’ yang dilarang pada Al Maidah 51.
Demikian arti kata aulia berdasarkan pendapat Ulama terdahulu, semoga artikel ini dapat menjadi pencerah atas berbagai polemik yang muncul seputar arti kata aulia yang muncul belakangan ini.
Wallahu a’lam
Arti Kata Auliya
Ada banyak kaidah dalam ilmu tafsir yang harus difahami oleh seseorang sebelum menafsirkan sebuah ayat. Untuk tugas ini harus diserahkan kepada Ulama yang memang benar-benar memiliki pengetahuan tentangnya dan ulama-ulama terdahulu telah memberikan penafsiran tentang hal ini jauh sebelum arti kata Auliya diperdebatkan berdasarkan kepentingan masing-masing kelompok. Artikel ini akan membahas bagaimana para Ulama terdahulu menafsirkan arti kata Auliya dalam konteks memilih pemimpin.
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan tentang hal ini, silahkan baca kembali pada artikel berjudul:
Haram Memilih Pemimpin Non Muslim, Begini Seharusnya Memilih Pemimpin Muslim Yang Ideal
Perlu diketahui bahwa Al Quran sebagai Nash (teks) Syariat jelas tidak hanya dipahami secara tersurat/eksplisit/tekstual (manthuq) saja, namun juga dipahami secara tersirat/implisit/kontekstual (mafhum). Sebagai contoh firman Allah SWT Surat Al Isra’ (23):
“... maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah” ...” (QS. Al Isra’: 23)
Secara eksplisit, tersurat dan tekstual, ayat tersebut menunjukkan tentang keharaman berkata “ah” atau mengeluh kepada orang tua. Di sisi lain, para Ulama juga memandang bahwa ayat tersebut secara tersirat, implisit dan konstekstual menunjukkan keharaman memukul orang tua. Mengapa demikian? Karena sebab diharamkannya mengeluh adalah menyakiti perasaan orang tua, tentunya unsur menyakiti juga ada pada memukul, bahkan lebih nampak. Sehingga, Ulama juga mengharamkan memukul orang tua dengan ayat yang sama.
Metode memahami Nash Syar’i seperti ini, oleh para Ulama disebut Mafhum Muwafaqoh atau dalam Madzhab Hanafi disebut Dalalah An Nash. Al Imam Az Zarkasyi dalam kitabnya Tasynif Al Masami’ (1/343) menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di antara Ulama tentang keabsahan metode ini dalam pengambilan hukum.
Dalam konteks Al Maidah 51, jikalau ada yang bersikeras bahwa arti kata auliya secara eksplisit hanya berarti teman setia atau sahabat karib, maka dengan metode Mafhum Muwafaqoh kita bisa memahami bahwa ayat tersebut secara tersirat, implisit dan kontekstual mencangkup keharaman memilih pemimpin kafir. Karena, jika sahabat karib kafir yang imbasnya hanya kepada perorangan saja tidak boleh, APALAGI pemimpin kafir yang imbasnya merambat ke seluruh warganya yang beragama Islam.
Dengan demikian, menjadi jelas, baik ditinjau secara tekstual atau kontekstual, eksplisit atau implisit, tersurat atau tersirat, Al Maidah 51 tetap menunjukkan haramnya memilih Kafir sebagai pemimpin yang akan mengatur mayoritas umat Islam.
Berikutnya:
Syubhat Penafsiran Surat Al-Maidah Ayat 51
[nextpage title="Subhat Penafsiran Surat Al-Maidah Ayat 51"]
Syubhat Penafsiran Surat Al-Maidah Ayat 51
Syubhat - 1
“Al Maidah 51 turun dalam konteks perang, sebagaimana disebutkan dalam asbabun nuzul, jika sebuah negara dalam keadaan damai maka ayat ini tidak berlaku , sehingga tidak tepat jika Al Maidah dijadikan dalil haram dalam memilih pemimpin kafir.”
Jawaban:
Jika benar Al Maidah 51 turun saat keadaan perang, maka hal tersebut dalam kacamata Ushul Fikih, sebagai metodologi yang absah dalam pengambilan hukum, tidak masalah. Dalam ilmu Ushul Fikih terdapat kaidah:
“Yang menjadi tolak ukur adalah keumuman redaksi, bukan kekhususan sebab.”
Kaidah ini disebutkan oleh banyak Ulama, termasuk Al Imam As Subki dalam kitabnya Al Ibhaj bi Syarhi Al Minhaj (2/185). Kaidah ini memberikan pemahaman, walaupun ayat tersebut turun karena sebab yang spesifik, namun yang menjadi tolak ukur adalah redaksi auliya’ yang bersifat umum, sehingga mencangkup sahabat setia, teman karib, orang kepercayaan, pejabat dan pemimpin. Karenanya, para Ulama menjadikan ayat tersebut dan ayat lain yang semakna, sebagai dalil tentang haramnya memilih pemimpik Kafir
Berikutnya:
Syubhat ke-2
[nextpage title="Syubhat ke-2"]
Syubhat ke-2
“Ayat ini hanya berlaku dalam sistem pemerintahan klasik yang ada pada zaman Rasul SAW, Sahabat dan Dinasti Islam. Adapun saat ini, dalam negara demokrasi situasi serta kondisinya sudah sangat berbeda. Sehingga, keadaan seperti ini tidak masuk dalam konteks ayat.”
Jawaban:
Sudah menjadi sebuah keharusan bagi setiap Muslim untuk meyakini bahwa Allah SWT menurunkan Syariat-Nya yang tertuang dalam Al Quran sebagai pedoman hidup yang sudah pasti relevan dari masa ke masa, dari situasi ke situasi, serta kondisi ke kondisi lainnya. Karenanya, dalam Al Quran Allah SWT menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa Syariat diutus untuk seluruh umat manusia, tanpa mengenal sekat batas teritorial, suku dan waktu serta sistem pemerintahan yang diikuti oleh sebuah negara atau pilihan hidup yang dipilih oleh seseorang. Allah SWT berfirman:
“Dan tidaklah Kami mengutusmu kecuali untuk seluruh manusia sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan, akan tetapi banyak manusia tidak mengetahui.” (QS. As Saba: 28)
Sehingga, menjadi sebuah keniscayaan bahwa semua yang digariskan dalam Al Quran, termasuk keharaman memilih pemimpin kafir adalah relevan, dan akan selalu relevan, kapanpun, dimanapun hingga hari Kiamat, dan apapun konsep bernegara yang diterapkan. Jika ditinjau dari sudut pandang ilmu Ushul Fikih, Syeikhul Islam Zakariya Al Anshari dalam Ghoyatul Wushul (hlm. 288) menyebutkan:
“Keumuman yang ada pada lafadz (sehingga mencakup berbagai cakupannya), secara otomatis membuatnya bersifat umum (mencakup) segala keadaan, tempat dan waktu.”
Artinya, jika lafadz auliya’ yang mencakup makna pemimpin, maka keharaman memilih pemimpin tersebut berlaku lintas situasi, kondisi, tempat dan waktu. Lebih dari itu, ‘illat (alasan) yang menjadikan kafir tidak boleh jadi pemimpin adalah kekafirannya itu sendiri, sebagaimana nukilan kami sebelumnya dari Al Imam Al Mawardi (lihat Al Hawi Al Kabir 8/494), sehingga selama ‘illat kekafiran itu ada dan melekat pada diri si kafir, maka hukum haram memilih pemimpin kafir akan tetap berlaku. Karenanya, kita telah ketahui bersama bahwa semenjak zaman Sahabat hingga zaman Buya Hamka dan MUI, para Ulama tetap sepakat menjadikan Al Maidah 51 dan lainnya yang semakna sebagai dalil haramnya dalam memilih kafir sebagai pemimpin
Berikutnya:
Syubhat-3
[nextpage title="Syubhat-3"]
Syubhat-3
“Dalam konteks memilih pemimpin kafir, Prof. Dr. Quraisy Syihab (disingkat QS) dalam wawancara yang dimuat di media online, Beliau menjawab: “Kita lihat, jika mereka juga menginginkan kemaslahatan untuk kita, boleh tidak kita bersahabat? Quraisy Syihab meneruskan: “Jika antara pilot pesawat yang pandai namun kafir, dan pilot kurang pandai yang muslim, pilih mana? (sontak jamaah yang hadir pun tertawa)
Atau pilih antara dokter Nasrani yang kaya pengalaman, dan dokter muslim tapi minim pengalaman.” Dalam konteks seperti ini, bagi Quraisy Syihab tidak dilarang. Yang terlarang ialah melebur, sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan. Karena tidak ada lagi batas, kita menyampaikan hal-hal yang berupa rahasia pada mereka. Itu yang terlarang.”
Jawaban:
Dewan Pakar Aswaja Centre PWNU Jawa Timur; KH. Idrus Ramli menjawab dengan sangat gamblang. Beliau berkata bahwa jawaban QS di atas tidak memberikan jawaban, tidak mendidik layaknya seorang pakar, bahkan cenderung lari dari persoalan. Dalam ilmu logika atau ilmu jalad, pertanyaan yang bersifat general atau umum, tidak boleh dijawab dengan jawaban yang bersifat spesifik atau khusus dengan merujuk permasalahan tertentu. Karena akan memberikan banyak ruang yang tak terjawab, bahkan jawaban itu sama dengan lari dari persoalan yang ditanyakan.
Jika kita perhatikan, dialog di atas mempertanyakan hal yang bersifat umum, yaitu
“seandainya orang kafir menginginkan kemaslahatan kepada kita, bolehkah kita bersahabat?”
Jawaban dari pertanyaan ini seharusnya juga bersifat umum, tidak dilokalisir pada kasus tertentu seperti pilot atau dokter sebagaimana jawaban QS di atas. Persoalan seperti ini telah dijelaskan oleh para Ulama tentang hukum persahabatan dengan non-Muslim. Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata dalam Asna Al Mathalib fi Shilah Al Aqarib (hlm. 237): “Haram hukumnya bersahabat dengan orang kafir secara batin, dan makruh secara lahiriyah. Analoginya, haram pula bersahabat dengan orang fasik dan ahli bid’ah dengan hati, kecuali karena tujuan yang baik, seperti dengan kerabat, atau dugaan kuat ia akan memperoleh hidayah, dan seperti melihat pemberian dan pertolongan Allah kepadanya dengan Islam.”
Paparan di atas menjelaskan bahwa bersahabat dengan beda agama adalah MAKRUH dalam hubungan lahiriyah, dan HARAM dalam hubungan batiniyah, yaitu ketika saling mengetahui rahasia satu sama lain, saling mengasihi dan saling memihak. Sedangkan hubungan transaksi seperti jual beli, berobat, mengikuti mereka sebagai pilot, dsb, hal ini tidak termasuk menjadikan mereka sebagai auliya’ yang dilarang dalam Al Quran. Syaikh Muhammad At Thahir bin ‘Asyur ketika menafsirkan Al Maidah 51 dalam tafsirnya Al Tahrir wa Al Tanwir (6/213) berkata:
“Persahabatan yang paling rendah derajatnya adalah bekerjasama (dengan non-Muslim) dan berbaur dalam perdagangan dan semacamnya. Di bawah itu ada yang bukan muwalat (pertemanan sejati yang dilarang) sama sekali, yaitu muamalah. Nabi shallallaahu’alaihi wasallam telah bermuamalah dengan Yahudi Khaibar dengan akad musaqat, mempekerjakan mereka untuk menyiram pertanian kurma di Khaibar. Kami telah menjelaskan sebagian rincian hal ini pada firman Allah:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin,” (QS. Ali-Imran: 28).”
Walhasil, paparan di atas menjelaskan berbagai macam muamalah dan transaksi harian seperti jual beli, bekerja sebagai buruh, berobat dsb, dan tidak termasuk pada wilayah muwalah atau auliya’ yang dilarang pada Al Maidah 51.
Demikian arti kata aulia berdasarkan pendapat Ulama terdahulu, semoga artikel ini dapat menjadi pencerah atas berbagai polemik yang muncul seputar arti kata aulia yang muncul belakangan ini.
Wallahu a’lam
إرسال تعليق