Salah satu syarat sahnya Sholat adalah bersih dari hadats besar dan hadats kecil, dua hadats ini dapat disucikan dengan cara bersuci baik dengan menggunakan air maupun dengan menggunakan media lain (tanah). Para Fuqaha (ahli fiqih) telah bersepakat tentang wajibnya menggunakan air suci untuk bersuci ketika air tersebut tidak digunakan untuk keperluan lain yang mendesak seperti untuk keperluan minum. Sebagai gantinya jika tidak ada air maka diperbolehkan bersuci dengan menggunakan tanah (tayammum).

Para Ulama ahli fikih seperti Ulama Kufah dan Basrah bersepakat bahwa air laut baik yang tawar maupun yang asin suci dan mensucikan sebagaimana air lainnya. Meskipun demikian ada beberapa Ulama yang melarang berwudlu dengan menggunakan air laut. Disamping itu ada beberapa Ulama yang memperbolehkan bersuci dengan air laut saat dalam kondisi darurat saja. Ada juga ahli Fiqih yang memperbolehkan tayammum meskipun ada air laut yang dapat digunakan untuk berwudlu.

Bersuci Dari Najis.


Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa bersuci harus menggunakan air dan tidak sah hukumnya jika tidak menggunakan air. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Laila dan al-‘Ashim tentang bolehnya bersuci dengan menggunakan cairan yang lain.

Tiga imam madzhab yaitu Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali sepakat bahwa najis tidak akan hilang kecuali disucikan dengan menggunaan air, Sementara itu Imam Hanafi memiliki pendapat bhwa najis dapat dihilangkan dengan menggunakan cairan lain yang suci.

Bersuci Dengan Air Panas


Menurut Imam Syafi’i air panas yang disebabkan oleh sinar matahari hukumnya makruh jika digunakan untuk bersuci. Sementara itu, pendapat yang dipilih oleh para pengikutnya yang kemudian adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu tidak makruh. Demikian juga menurut tiga imam yang lain, yaitu Hanafi, Maliki dan Hanbali.

Air yang telah dimasak, menurut kesepakatan para Ulama hukumnya tidak makruh. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa ia memakruhkannya. Namun demikian menurut Imam Hanbali, jika air dipanaskan dengan menggunakan api maka hukumnya makruh.

Air Musta’mal


Air musta’mal adalah air yang telah digunakan atau air bekas, hukum air musta’mal adalah suci namun tidaklah menyucikan. Pendapat ini masyhur di kalangan pengikut madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali. Sementara itu menurut madzhab Maliki air musta’mal dapat menyucikan. Namun demikian menurut sebagian riwayat dari Hanafi: air musta’mal adalah najisi. Demikian juga menurut pendapat Abu Yusuf.

bersuci

Hukum Air Yang Bercampur Dengan Benda Suci.


Menurut pendapat Maliki, Syafi’in dan Hanbali air yang bercampur dengan benda lain seperti misalnya bercampur dengan ja’faran atau benda-benda lain yang suci dan mengakibatkan perubahan yang sangat jelas maka air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci. Namun demikian menurut madzhab Hanafi air tersebut dapat digunakan untuk bersuci. Menurut mereka air yang berubah karena bercampur dengan benda lain yang suci tidak membuat kesucian air tersebut menjadi hilang sepanjang unsur-unsur air masih menyertainya atau tidak hilang.

Air Yang Berubah Karena Lama Disimpan.


Air yang mengalami perubahan karena terlalu lama disimpan atau tidak digunakan maka hukumnya suci, demikian berdasarkan kesepakatan sebagian besar Ulama. Sementara itu diriwayatkan dari Ibnu Sirin, bahwa air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci.

Mandi dan Berwudlu Dengan Air Zanzam.


Menggunakan air Zamzam baik untuk mandi maupun berwudlu menurut Madzhab Hanbali hukumnya makruh. Alasannya adalah untuk memelihara kemuliaan air Zamzam.

Api dan Matahari Dapatkah Mensucikan?


Menurut sebagian besar madzhab api dan matahari tidak dapat menghilangkan najis. Namun demikian menurut Hanafi api dan matahari dapat menghilangkan najis. Menurut Hanafi kulit bangkai yang mengering karena sinar matahari meskipun kulit tersebut tidak disamak hukumnya suci. Demikian halnya jika terdapat najis pada tanah kemudian najis tersebut mengering karena sinar matahari hukumnya suci, namun tanah tersebut tidak dapat digunakan untuk tayammum. Menurut Madzhab Hanafi api juga dapat menghilangkan najis.

Takaran Air Dalam Bersuci.


Air tenang yang kurang dari dua qullah menurut Syafi’i, Hanafi dan Hanbali apabila terkena najis akan menjadi najis meskipun najis tersebut tidak merubah sifat-sifat air baik warna, bau dan rasanya. Namun demikian menurut Maliki dan Hanbali dalam riwayat yang lain: air tersebut suci selama sifat-sifatnya tidak berubah. Adapun jika air itu lebih dari dua qullah, yaitu 500 rithl Bagdad atau 180 rithl Damaskus, atau dalam volume 4x4x4 hasta, tidaklah menjadi najis –terkena benda najis- kecuali jika sifat-sifatnya berubah, demikian pendapat Syafi-i dan Hanbali.

[caption id="attachment_10566" align="alignleft" width="450"]bersuci Ukuran 1 hasta[/caption]

Menurut madzhab Maliki, air yang berada dalam tempat dengan ukuran tersebut tidak dapat berubah menjadi najis jika terkena najis. Namun demikian jika najis tersebut dapat merubah salah satu maupun seluruhnya dari sifat asli air yaitu rasa, warna dan baunya maka hukum ait tersebut adalah najis baik air tersebut sedikit maupun banyak.

Sementara itu menurut Hanafi untuk menetapkan hukum najis dan tidaknya harus diperhatikan terlebih dahulu jumlah campurannya. Menurutnya jika air tersebut bercampur dengan benda najis maka hukumnya menjadi najis, kecuali jika jumlah air tersebut banyak. Air dapat dikatakan memiliki jumlah yang banyak (ma’ katsir) indikasinya adalah jika salah satu dari tepi air tersebut digerakkan maka tepi yang lain tidak bergerak. Dalam kondisi air seperti ini maka air tersebut tidak berubah hukumnya menjadi najis jika terkena benda najis.

Menurut pendapat Hanafi, Hanbali dan qaul jadid Imam Syafi’i air yang mengalir memiliki hukum yang sama dengan air yang tenang. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat dalam madzhab Syafi’i. Menurut Imam Maliki air yang mengalir dan terkena najis maka hukumnya tidak menjadi najis kecuali air tersebut berubah baik warna, rasa dan baunya, baik air tersebut banyak maupun sedikit. Begitu juga qaul qadim Syafi-i yang diikuti oleh beberapa shahabatnya, seperti al-Baghawi, Imam al-Haramain, dan al-Ghazali. Imam an-Nawawi, di dalam Syarh al Muhadzdzib, mengatakan bahwanga inilah pendapat yang kuat.

Hukum Menggunakan Pelatan Emas Untuk Bersuci


Menurut para ulama menggunakan peralatan yang terbuat dari emas untuk makan, minum, dan berwudlu, baik oleh laki-laki maupun perempuan, hukumnya adalah haram. Namun demikian Dawud memiliki pendapat lain yaitu bahwa peralatan dari emas haram jika digunakan untuk minum. Pendapat Hanafi, Maliki, dan Hanbali yang mengharamkannya lebih kuat daripada pendapat Syafi-i.

Para ulama berpandapat bahwa menggunakan saluran air yang terbuat dari emas hukumnya adalah haram. Sementara itu menurut Maliki, Syafi-i, dan Hanbali , menggunakan saluran air yang terbuat dari perak adalah haram jika alirannya besar dan untuk hiasan. Namun demikian menurut Hanafi menggunakan saluran air dari perak menurutnya tidaklah haram.

Hukum Bersiwak


Menurut kesepakatan sebagian besar Ulama hukum bersiwak adalah sunnah. Namun menurut Dawud hukum bersiwak adalah wajib dan menurut pendapat Ishaq jika bersiwak itu ditinggalkan dengan sengaja maka shalatnya batal.

Baca juga:  Jenis-Jenis Air Yang Suci Dan Mensucikan (Terjemah Al-Umm)

Bagaimana hukumnya bersiwak saat menjalankan ibadah puasa, makruh atau tidak? Menurut Hanafi dan Maliki bersiwak saat menjalankan puasa hukumnya tidak makruh. Sementara itu menurut Imam Syafi’i hukum bersiwak saat berpuasa adalah makruh. Dari Hanbali diriwayatkan dua riwayat yang mengatakan bahwa hal itu tidak makruh.

Demikian hal-hal yang berkaitan dengan bersuci dan air yang dapat digunakan untuk bersuci, artikel ini sengaja dibuat berdasarkan pendapat dari 4 madzhab dengan maksud untuk menambah wawasan bagi pembaca, agar lebih dewasa dalam menanggapi berbagai macam khilafiyah yang bersifat furu’iyah di tengah-tengah masyarakat.

Berbagai bidang banyak dikaji dalam Islam, dan Ilmu Fiqih yang paling banyak mendapatkan perhatian dan melahirkan berbagai macam khilafiyah (perbedaan pendapat). Hal itu disebabkan oleh perbedaan argumentasi dan dalil yang dimiliki oleh para Imam Madzhab, yang terbaik adalah menerima berbagai macam perbedaan tanpa mengesampingkan sikap saling menghormati. Dengan demikian suasana harmonis dalam mengikuti madzhab dapat terus terjaga dan melahirkan rahmat dari Allah SWT. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,"perbedaan pendapat dikalangan umatku adalah rahmat."

Referensi: Fiqih Empat Madzab, Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama