Banyak hadits menyebutkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan agar membiarkan dan tidak mencukur jenggot. Diantaranya hadits:

حَدَّثنََا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْ هَالٍ حَدَّثنََا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْاٍ حَدَّثنََا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ نَافِاٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ الن بِ ىِ صلى الله عليه - وَكَانَ ابْنُ عُمَ رَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ ، - . » خَالِعُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَف رُوا اللِ حَى ، وَأَحْعُوا الشَّوَارِبَ « وسلم قَالَ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ .


Muhammad bin Minhal menceritakan kepada kami; Yazid bin Zurai’ menceritakan kepada kami; Umar bin Muhammad bin Zaid menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda:
“Bedakanlah diri kamu dari orang-orang musyrik, biarkanlah jenggot dan rapikanlah kumis”.
Apabila Ibnu Umar melaksanakan ibadah haji atau Umrah, beliau menggenggam jenggotnya, yang berlebih (dari genggaman itu) ia potong.

Apakah perintah Rasulullah Saw “Biarkanlah jenggot!” diatas mengandung makna wajib? Atau hanya bersifat anjuran (an-Nadab)?
Ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa makna perintah di atas hanya bersifat anjuran, bukan wajib, oleh sebab itu mencukur jenggot hanya dikatakan makruh. Berikut ini beberapa teks dari kitab-kitab ulama kalangan mazhab Syafi’i:

) وَ ( يُكْرَهُ ) نَتْعهَُا ( أَيْ اللِ حْيَةِ أوََّلَ طُلوُعِهَا إيثاَرًا لِلْمُرُودَةِ وَحُسْنِ الصُّورَة


“Makruh hukumnya mencabut jenggot pada awal tumbuhnya untuk orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk penampilan yang bagus”.

Komentar Imam ar-Ramly terhadap teks ini:

) قَوْلُهُ وَيُكْرَهُ نَتْعُهَا ( أيَْ الل حْيَةِ إلَخْ وَمِثْلُهُ حَلْقُهَا فَقَوْلُ الْحَلِيمِ ي فِي مِنْهَاجِهِ لَا يَحِ لُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْلِقَ لِحْيَتَهُ ، وَلَا حَاجِبَيْهِ ضَعِيفٌ


“Ucapan Syekh Zakariya al-Anshari, “Makruh mencabut jenggot” dan seterusnya. Demikian juga halnya dengan mencukur jenggot. Adapun pendapat al-Halimi dalam kitab al-Minhaj yang mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang mencukur jenggot dan dua alis, pendapat ini adalah pendapat yang dha’if.

)قوله: ويحرم حلق لحية( المعتمد عند الغزالي وشيخ الاسلام وابن حجر في التحعة والرملي والخطيب وغيرهم: الكراهة.


(Haram mencukur jenggot), pendapat yang kuat menurut Imam al-Ghazali, Syaikhul Islam, Ibnu Hajar dalam at-Tuhfah, ar-Ramly, al-Khathib dan lainnya: makruh.

إنَّ حَلْقَ الل حْيَةِ مَكْرُوهٌ حَتَّى مِنْ الرَّجُلِ وَلَيْسَ حَرَامًا


“Sesungguhnya mencukur jenggot itu makruh, meskipun dilakukan oleh laki-laki dewasa. Bukan haram”.

) فَرْعٌ ( ذَكَرُوا هُنَا فِي اللِ حْيَةِ وَنَحْوِهَا خِصَالًا مَكْرُوهَةً مِنْهَا نَتْعُهَا وَحَلْقُهَا


(Masalah Cabang): disini mereka sebutkan tentang jenggot dan lainnya, ada beberapa perkara yang makruh, diantaranya adalah mencabut dan mencukur jenggot.

Bukan hanya dari kalangan ulama mazhab Syafi’i saja yang berpendapat demikian. Al-Qadhi ‘Iyadh dari Mazhab Maliki juga berpendapat demikian:

وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ : يُكْرَهُ حَلْقُهَا وَقَصُّهَا وَتَحْرِيقُهَا


“al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Makruh hukumnya mencukur, memotong dan membakar jenggot”.

Pendapat Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq, Grand Syaikh Al-Azhar.

الأمر الوارد فى إععاء اللحية مختلف فيه بين الوجوب والسنة والندب


Perintah tentang membiarkan jenggot, ulama berbeda pendapat tentang ini antara: wajib, Sunnah dan nadab (anjuran).

Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq melanjutkan,

وقد وردت أحاديث نبوية شريعة ترغب فى الإبقاء على اللحية والعناية بنظافتها، كالأحاديث المرغبة فى السواك وقص الأظافر والشارب وقد حمل بعض العقهاء هذه الأحاديث على الأمر، وسماها كثير منهم سنة يثاب عليها فاعلها ولا يعاقب تاركها، ولا دليل لمن قال إن حلق اللحية حرام أو منكر إلا الأحاديث الخاصة بالأمر بإععاء اللحية مخالعة للمجوس والمشركين، والأمر فى الأحاديث الواردة عن الرسول صلى الله عليه وسلم كما يكون للوجوب يكون لمجرد الإرشاد إلى الأفضل


Terdapat beberapa hadits yang menganjurkan membiarkan jenggot dan memperhatikan kebersihannya, seperti hadits-hadits yang menganjurkan menggosok gigi (bersiwak), memotong kuku dan kumis. Sebagian ahli Fiqh memahami hadits-hadits perintah membiarkan jenggot mengandung makna wajib, sebagian besar ahli Fiqh menyebutnya Sunnat; orang yang melakukannya mendapatkan pahala dan yang tidak melakukannya tidak dihukum. Tidak ada dalil bagi mereka yang mengatakan bahwa mencukur jenggot itu haram atau munkar selain hadits-hadits khusus yang terkait dengan perintah membiarkan jenggot untuk membedakan diri dengan orang-orang Majusi dan musyrik. Perintah dalam hadits-hadits dari Rasulullah Saw tersebut sebagaimana ada yang memahaminya mengandung makna wajib, juga mengandung makna sekedar anjuran kepada yang lebih utama.

Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq melanjutkan,

والحق الذى ترشد إليه السنة الشريعة وآداب الإسلام فى الجملة أن أمر الملبس والمأكل وهيئة الإنسان الشخصية لا تدخل فى العبادات التى ينبغى على المسلم الالتزام فيها بما ورد فى شأنها عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه، بل للمسلم أن يتبا فيها ما تستحسنه بيئته ويألعه الناس ويعتادونه ما لم يخالف نصا أو حكما غير مختلف عليه وإععاء اللحية أو حلقها - من الأمور المختلف على حكم الأمر الوارد فيها بالإععاء على ما تقدم


Kebenaran yang dianjurkan Sunnah yang mulia dan adab Islamy dalam masalah ini, bahwa masalah pakaian, makanan dan bentuk fisik, tidak termasuk dalam ibadah (mahdhah) yang seorang muslim mesti mewajibkan diri mengikuti cara nabi dan para shahabat, akan tetapi dalam hal ini seorang muslim mengikuti apa yang baik menurut lingkungannya dan baik menurut kebiasaan orang banyak, selama tidak bertentangan dengan nash atau hukum yang tidak diperselisihkan. Membiarkan atau mencukur jenggot termasuk perkara yang diperselisihkan hukum perintahnya (apakah wajib atau anjuran), sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Baca juga: Memahami Ayat Dan Hadits Mutasyabihat

Pendapat Syekh Ali Jum’ah Mufti Mesir.

Jika hal ini terkait dengan kebiasaan dan tradisi, maka itu menjadi indikasi yang mengalihkan makna perintah dari bermakna wajib kepada makna anjuran. Jenggot itu termasuk kebiasaan dan tradisi. Para Fuqaha’ menganjurkan banyak hal, padahal dalam nashnya secara jelas dalam bentuk perintah, karena berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi. Misalnya sabda Rasulullah Saw:

غَي رُوا الشَّيْبَ وَلاَ تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ


“Rubahlah uban. Janganlah kamu menyamakan diri dengan orang-orang Yahudi”. (HR. at-Tirmidzi).

 

Bentuk kata perintah dalam hadits perintah merubah uban kejelasannya menyerupai hadits perintah memelihara jenggot. Akan tetapi karena merubah uban bukanlah suatu perbuatan yang diingkari di tengah-tengah masyarakat, maka tidak dilakukan. Para ahli Fiqh berpendapat bahwa merubah uban itu hukumnya dianjurkan, mereka tidak mengatakan diwajibkan.

Para ulama berpendapat berdasarkan metode ini. Para ulama bersikap keras dalam hal pemakaian topi dan memakai dasi, mereka menyatakan bahwa siapa yang melakukan itu berarti kafir. Bukanlah karena perbuatan itu kafir pada zatnya. Akan tetapi karena perbuatan itu

mengandung makna kekafiran pada masa itu. Ketika pemakaian dasi sudah menjadi tradisi, tidak seorang pun ulama mengkafirkan orang yang memakainya.

Hukum jenggot pada masa Salaf, seluruh penduduk bumi, baik yang kafir maupun yang muslim, semuanya memanjangkan jenggot. Tidak ada alasan untuk mencukurnya. Oleh sebab itu ulama berbeda pendapat antara jumhur yang mewajibkan memelihara jenggot dan Mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa memelihara jenggot itu sunnat, tidak berdosa bagi orang yang mencukurnya.

Baca juga: Hukum Beramal Dengan Hadits Dha’if

Oleh sebab itu menurut kami pada zaman ini perlu mengamalkan Mazhab Syafi’i, karena tradisi telah berubah. Mencukur jenggot itu hukumnya makruh. Memelihara jenggot hukumnya sunnat, mendapat pahala bagi yang menjaganya, dengan tetap memperhatikan tampilan yang bagus, menjaganya sesuai dengan wajah dan tampilan seorang muslim. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam

 

Sumber

Post a Comment

أحدث أقدم