Obat antivirus yang digunakan untuk mengobati Ebola mungkin merupakan obat yang efektif untuk pasien dengan COVID-19 yang parah, demikian kesimpulan dari hasil awal yang merupakan bagian dari serangkaian percobaan klinis yang dilakukan oleh para ahli di AS.

Dari 113 orang dengan COVID-19 parah yang dirawat di rumah sakit di University of Chicago Medicine, diberikan infus remdesivir setiap harinya ternyata memberikan hasil yang cukup signifikan. Menurut Stat News obat antivirus ini dibuat oleh Gilead Sciences.

“Berita terbaiknya adalah bahwa sebagian besar pasien kami sudah keluar, ini luar biasa. Kami hanya memiliki dua pasien yang meninggal,” kata Dr. Kathleen Mullane, spesialis penyakit menular Universitas Chicago yang mengawasi penelitian remdesivir untuk rumah sakit, dia mengatakannya  dalam pertemuan video pribadi yang bocor ke Stat News.

Obat ini tampaknya mengurangi demam dan mengurangi gejala pernapasan yang terkait dengan coronavirus, yang memungkinkan banyak pasien yang menerimanya akan keluar dari rumah sakit dalam waktu kurang dari seminggu.

Pasien yang mendapatkan treatment remdesivir di University of Chicago Medicine adalah salah satu bagian dari uji klinis fase 3 untuk obat tersebut. Selama Fase 3, dokter menguji obat pada beberapa ratus pasien untuk mengetahui seberapa efektif obat ini serta pemantauan efek samping; fase keempat dan terakhir melibatkan pengujian obat pada kelompok pasien yang jauh lebih besar.

Namun, tidak ada kelompok kontrol, yang berarti bahwa para ilmuwan tidak dapat membandingkan pasien ini dengan kelompok orang yang sama-sama sakit yang tidak menerima obat. Ini penting, karena ada kemungkinan bahwa efek plasebo atau penyebab lainnya yang tidak diketahui berperan dalam pemulihan pasien ini.

Percobaan klinis yang sama untuk kasus COVID-19 yang parah sedang dijalankan pada 2.400 peserta di 152 institusi di seluruh dunia, tetapi sejauh ini hasilnya belum dipublikasikan. "Apa yang bisa kami katakan pada tahap ini adalah bahwa kami menantikan data dari studi yang sedang berlangsung tersedia," kata Gilead kepada Stat News.

Gilead juga menjalankan percobaan pada kasus COVID-19 yang moderat, yang meliputi 1.600 pasien di 169 pusat berbeda, demikian dilaporkan oleh Stat News. Percobaan ini sedang menyelidiki seberapa efektif dan aman percobaan lima dan 10 hari dari obat tersebut.

Remdesivir juga menunjukkan harapan dalam penelitian kecil yang diterbitkan secara online pada tanggal 10 April di New England Journal of Medicine (NEJM). Dokter memberikan obat dengan dasar compassionate-use basis kepada 53 pasien dengan COVID-19 di rumah sakit di seluruh dunia. Setiap pasien menerima obat selama 10 hari. Pada tindak lanjut, 36 pasien (68%) menunjukkan peningkatan dalam dukungan oksigen. Ini termasuk 17 dari 30 (57%) pasien yang menggunakan ventilator yang kemudian diekstubasi.

Pada akhirnya, 25 pasien (47%) dipulangkan dan tujuh pasien (13%) meninggal, demikian para peneliti dari studi NEJM melaporkan. Sebaliknya, penelitian dari China (yang tidak termasuk pengobatan remdesivir) menunjukkan bahwa antara 17% dan 78% orang dengan kasus COVID-19 yang parah meninggal, kata para peneliti.

Namun, seperti hasil bocor dari Chicago, studi NEJM tidak memiliki kelompok kontrol.

"Ini masih merupakan obat yang menjanjikan, tetapi [studi NEJM] tidak secara definitif membuktikan apa pun," kata Paul Goepfert, seorang spesialis penyakit menular di University of Alabama di Birmingham, mengatakan kepada The Washington Post.


Hasil Uji Klinis Pada Monyet Rhesus

Remdesivir juga menunjukkan harapan pada monyet rhesus (Macaca mulatta) yang terinfeksi dengan coronavirus baru, menurut penelitian kecil tujuh hari yang belum. Berbeda dengan penelitian lain, penelitian yang dilakukan oleh Institut Kesehatan Nasional AS ini memiliki kelompok kontrol.

Enam monyet yang diberi remdesivir pada awal penyakit COVID-19  menunjukkan penyakit klinis berkurang secara signifikan, termasuk pneumonia, dibandingkan dengan enam monyet pada kelompok yang tidak diberikan remdesivir, demikian menurut cetakan yang diposting pada 21 Maret ke database bioRxiv. Sementara salah satu kera yang dirawat memiliki masalah pernapasan ringan, semua kera yang tidak diobati mengalami pernapasan cepat dan sulit.

Selain itu, monyet yang dirawat memiliki lebih sedikit virus di paru-paru mereka dan lebih sedikit kerusakan paru-paru daripada kelompok yang tidak diobati. Namun, monyet yang dirawat masih menularkan  virus terhadap kelompok lain, yang berarti mereka sama menularnya.

"Temuan ini sangat penting untuk manajemen pasien, di mana perbaikan klinis tidak boleh ditafsirkan sebagai kurangnya infeksi," catat para peneliti dalam penelitian ini.

Post a Comment

أحدث أقدم