Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg.
Saat benar-benar terjepit dan butuh, baru Jokowi merangkul kiai NU dan Muhammadiyah untuk bareng menghadapi demo. Kata media, demo 4 November itu demo sejuta umat yang paling bersih dan santun. Tapi di malam hari ada pembakaran mobil yang menurut sebagaian sumber, justru polisi sendiri yang membakar.
Itu mungkin untuk alasan mengutuk pendemo sebagai bertindak anarkis. Dengan anarkis buatan itu, lalu dijadikan alasan polisi untuk menindak para demontrans. Itu sudah trik klise dan lama. Mudah-mudahan demo 4 November kemarin menjadi demo teladan bagi pendemo selanjutnya dengan mengambil yang baik-baik. "Wa qad jaff al-qalam", demo sudah terjadi dan itu kehendak-Nya. Pasti banyak hikmah yang bisa kita petik.
Pertama, bahwa semua yang terjadi di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Semua sudah digariskan oleh Tuhan atas dasar iradah-Nya, lepas dari pertimbangan manusia, suka atau tidak suka. Berbahagialah orang yang berserah diri kepada-Nya dan celakalah orang yang pongah dan durhaka.
Agama melarang kita berkata andai: "Waduh, andai saya tahu begini, saya tadi pasti melakukan begini... dst…". Itu sama dengan menafikan peran Tuhan. Anda melakukan dan tidak melakukan, sesuatu terjadi dan tidak terjadi, adalah hal yang sudah digariskan sebelumnya. Itulah keimanan.
Kedua, tiba-tiba Habib Rizieq mendapat tempat di hati jutaan umat islam yang peduli izzul islam wa al-muslimin. Soal apakah ini "al-izzah" dari Allah atau apa, itu soal lain. Harus diakui, demo ini paling raksasa dan menyeluruh. Tidak hanya di ibukota, di kota lain juga banyak, bahkan di luar negeri.
Dari sini terbaca, bahwa "jutaan umat islam" militan tengah mendapatkan tokoh yang representatif yang sesuai dengan jiwa militansi mereka sebagai orang beriman yang bermartabat, yang punya semangat ber-amar ma'ruf dan nahi munkar. Hal mana selama ini tidak didapatkan dari tokoh agama lain, meski dari petinggi organisasi keagamaan, seperti kiai dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) atau tokoh dari Muhammadiyah.
Kiai NU cenderung diam dan lemah menghadapi musuh islam yang sedang beraksi, apalagi terhadap pelaku maksiat yang merajalela dengan alasan toleransi, santun, rahmatan li al-alamin, meski mereka terang-terangan tidak toleransi sama sekali kepada perasaan mayoritas, tidak santun, cenderung menguasai dan berbuat seenaknya.
Alasan di atas sungguh kata-kata yang bijak dan menyejukkan, sekaligus membingungkan. Rakyat bingung, apa bedanya santun dengan budeg? Apa bedanya toleransi dengan membiarkan? Apa bedanya rahmatan li alamin dengan lemah iman? Toh nyatanya diam dan tidak berbuat apa-apa. Baru bisa disebut "rahmatan li alamin" dan bijak jika sudah berbuat dengan amal nyata.
Amal nyata itu antara lain: mencegah pelaku maksiat, mencegah kejahatan musuh agama dengan apa yang dia bisa secara bijak dan manusiawi, menghentikan dengan nasehat yang efektif nan mendinginkan, lalu mereka berhenti atau mengurangi keburukannya. Kalau hanya diam atau menasehati pakai kata-kata filosufis, bahasa metoforik dan tidak jelas, ya gak bakalan digubris. Maksiat terus jalan dan kafir terus terus berulah.
Lebih menyedihkan lagi, kiai seni yang nyabdo macam itu sudah merasa dirinya bijak, santun, menyejukkan dan rahmatan li alamin. Ya mesti saja, karena sabdonya itu dinggap bukan nahy 'an al-munkar bagi mereka, malah dianggap "ngajangi ombo", memberi restu dan peluang. Jika seperti itu adanya, maka sabdo kiai lemah iman itu lebih pas disebut "rahmatan li al-kafirin", bukan "li rahmatan al-'alamin".
Masih ingatkah kita saat Habib Rizieq dengan pekik takbir, Allah Akbar di jalan-jalan saat bertindak nahy an al-munkar dulu, seperti merazia tempat maksiat di bulan puasa?
Jihad Habib itu sering dibuat guyonan oleh sebagian kiai NU dalam ceramah-ceramah. Allahu Akbar, 10 ribu. Sami'allahu liman hamidah, 20 ribu yang diiringi gelak tawa hadirin Nahdliyin. Tuhan maha adil, Habib yang dijadikan guyonan itu kini tampil begitu kharismatik dan menjadi imam bagi juataan umat dengan izin Allah, di mana pengaruhnya jauh melampaui mereka yang dulu menertawakan.
Jika mau menguji keluhuran derajat Habib Rizieq spesial soal ini, silakan..! Siapa di antara kiai kita, NU atau Muhammadiyah yang ditokohkan dan bisa memobilisasi umat turun ke jalan menuntut keadilan, membela al-qur'an, membela agama yang dinista, di mana jumlah mereka, damainya, bersihnya dan serentaknya seperti itu? Kita ini pandai mentertawakan orang lain, tapi tidak pandai mentertawakan diri sendiri.
Pertanyaan menggangu penulis saat ketua NU dan Muhammadiyah dirangkul Jokowi, lalu masing-masing melarang atribut ormasnya untuk demo. Itu bagus sekali sebagai tindakan safety organisasi. Itulah kebesaran hati tokoh kita, kiai kita sebagai ulama yang bijak dan mampu bergandeng tangan bersama umara' dalam mengatasi masalah, demi kemaslahatan negara, agama dan bangsa.
Tapi apresiasi itu tiba-tiba terganggu saat penulis ingat instruksi pucuk pimpinan NU tahun-tahun kemarin, agar Ansor-Banser di daerah turun berjaga dan siap mengamankan Gereja dan orang-orang nasrani saat menjalankan ibadah natalan. Mereka benar-benar turun menjaga gereja, siang dan malam sesuai kontrak, lengkap dengan baju seragam dan almamater.
Tapi saat ada demo kemarin, di mana ratusan ribu umat islam menunut keadilan atas penistaan agama, Ansor, Banser dan semua Banom dilarang turun. Mereka tiada entah di mana. - Inna lillah wa inna ilaih raji'un -. Bahkan oknum pengurus Ansor malah pernah menjadi ketua tim suksesnya wong kafir dan dibiarkan oleh Syuriah maupun ketua PBNU. Dari kenyataan ini, salahkah bila umat membaca, bahwa Banser, Ansor lebih membela gereja daripada agama islam yang dinista?
Kiai Hasyim Asy'ari dulu mengobarkan Resolusi jihad tidak semata membela negara, melainkan lebih pada ketidakrelaan para kiai, agar jangan sampai negeri yang mayoritas Islam ini dikuasai oleh orang Nasrani, melalui penjajahan. Lihatlah, adakah tokoh pejuang melawan Belanda dari orang Nasrani? Atau ada berapa tokohnya? Atau nama kelompok pejuangnya apa? Sehebat apa perjuangannya?
Bandingkan dengan umat Islam. Ada Hizbullah, Ada Hizbul Wathan, ada Resolusi Jihad, ada perang Sabil dan lain-lain dan hasilnya nyata.
Orang Narsani negeri ini sangat diuntungkan dengan penjajah Belanda yang mencengkeram negeri ini tiga setengah abad. Lihat Rumah Sakit dan bangunan lain, termasuk gedung, asrama, sekolah berikut tanahnya, peninggalan Belanda yang tersebar di banyak kota. Hampir seratus persen diwarisi begitu saja oleh Gereja, nasrani. Padahal semua itu dibangun dari uang rakyat, dari hasil kekayaan negeri ini. Mestinya, setelah Belanda minggat, maka semua itu menjadi milik negara seperti pabrik-pabrik peninggalan Belanda yang kini menjadi milik BUMN.
Sejarah membuktikan, bahwa orang Nasrani, termasuk umumnya WNA China itu numpang hidup di negeri ini, sehingga tidak punya militansi membela negara. Zaman Belanda berkuasa, mereka loyal kepada Belanda. Zaman Orde baru berkuasa, ikut orde baru. Zaman Reformasi, ya ikut reformasi. Saat pak Harto dulu berkuasa, mereka leluasa mengeruk kekayaan negeri ini lewat bisnis raksasa yang memang dibuka luas oleh rezim waktu itu.
Silakan buka kembali kasus BLBI, jika berani. Kerugian negara akibat ulah pengusaha hitam era orde baru terkait BLBI itu ratusan triliun rupiah. Masih ingat Edy Tansil (China) yang membawa kabur Rp 1.3 triliun rupiah dan hingga kini tidak ada kabarnya. Waktu itu, kurs per satu dolar Amerika sekitar Rp. 1.400.- Tapi kalau pribumi yang korupsi, lain lagi, bisa diuber hingga ke luar negeri. Ini bukan menebar provokasi lewat isu SARA, tapi menunaikan amanat nasehat dengan cara membuka sejarah untuk peringatan, agar ke depan lebih baik bagi semua pihak.
Dari pembacaan politik, Jokowi yang hanya mengundang tokoh NU dan Muhammadiyah tanpa mengundang pihak Habib Rizieq sungguh cara jahat yang sangat keji. Jokowi, secara sengaja mengadu NU plus Muhammadiyah melawan mereka, sementara dia senyum-senyum dan menghilang saat ratusan umat islam penuntut keadilan ingin ketemu dengannya. Mudah-mudahan Habib Rizieq dan habaib lain tidak terpengaruh oleh ulah Jokowi ini dan tetap berbesar hati membela agama Allah SWT, tetap bersaudara dengan sesama muslim. | asyidda' ala al-kuffar ruhama' bainahum".
Berdasar bukti ini, salahkah jika kita membaca, bahwa Jokowi sengaja memanfaatkan momen 4 November tersebut untuk memecah belah umat islam?
Hanya saja, merasa kah kedua tokoh NU dan Muhammadiyah itu sedang diakali Jokowi? Sekali lagi. Lihat buktinya, Jokowi tidak mau ambil risiko. Dia sengaja menghilang saat ratusan ribu umat islam menuntut keadilan.
Bandingkan, sekali lagi bandingkan dengan sikap Jokowi menangani tragedi pembakaran masjid di Papua oleh nonmuslim. Umat islam sudah siap melakukan perlawanan, tapi Jokowi cepat mengambil tindakan. Tokoh-tokoh gereja, pengurus Dewan Gereja Indonesia diterima begitu mesra di istana dengan jamuan mewah penuh kemesraan. Dengan sentuhan tangan Jokowi itu, situasi di daerah pembakaran kembali damai. Orang Nasrani menikmati kejahatannya membakar masjid, sementara umat islam tetap dalam tekanan dan dipaksa mengalah terus.
Jokowi yang saat kampanye pemilihan presiden dulu dinobatkan sebagai sosok paling akrab dengan rakyat, Jokowi adalah Rakyat, blusukan ke rakyat, menyapa pedagang kaki lima, naik bajaj ke kantor KPU, menyalami rakyat, ternyata saat ratusan ribu rakyat muslim sekedar ingin bertemu memohon keadilan karena agama Islam sedang dinista, sengaja ditinggal pergi, sengaja dan sengaja. Di sini, kita umat Islam yang masih jernih pandangannya bisa membaca, sejatinya Jokowi itu siapa.
Lagunya Jokowi, biasanya kalau keadaan sudah kondusif, dia lalu mengundang tokoh-tokoh agama untuk makan bersama di istana. Guyon-guyon dan akrab-akraban. Jika tokoh yang dibidik itu tidak datang, maka sudah disiapkan juru bicara yang mengomentari dari berbagai sisi. Termasuk sisi agama. Tokoh yang tidak mau hadir itu dianggap tidak berjiwa besar, pendendam, kurang bisa berlaku legowo, tidak mau memaafkan, tidak mencontoh kebesaran jiwa Nabi yang pemaaf dan lain-lain.
Sumber: bangsaonline.com
Saat benar-benar terjepit dan butuh, baru Jokowi merangkul kiai NU dan Muhammadiyah untuk bareng menghadapi demo. Kata media, demo 4 November itu demo sejuta umat yang paling bersih dan santun. Tapi di malam hari ada pembakaran mobil yang menurut sebagaian sumber, justru polisi sendiri yang membakar.
Itu mungkin untuk alasan mengutuk pendemo sebagai bertindak anarkis. Dengan anarkis buatan itu, lalu dijadikan alasan polisi untuk menindak para demontrans. Itu sudah trik klise dan lama. Mudah-mudahan demo 4 November kemarin menjadi demo teladan bagi pendemo selanjutnya dengan mengambil yang baik-baik. "Wa qad jaff al-qalam", demo sudah terjadi dan itu kehendak-Nya. Pasti banyak hikmah yang bisa kita petik.
Pertama, bahwa semua yang terjadi di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Semua sudah digariskan oleh Tuhan atas dasar iradah-Nya, lepas dari pertimbangan manusia, suka atau tidak suka. Berbahagialah orang yang berserah diri kepada-Nya dan celakalah orang yang pongah dan durhaka.
Agama melarang kita berkata andai: "Waduh, andai saya tahu begini, saya tadi pasti melakukan begini... dst…". Itu sama dengan menafikan peran Tuhan. Anda melakukan dan tidak melakukan, sesuatu terjadi dan tidak terjadi, adalah hal yang sudah digariskan sebelumnya. Itulah keimanan.
Kedua, tiba-tiba Habib Rizieq mendapat tempat di hati jutaan umat islam yang peduli izzul islam wa al-muslimin. Soal apakah ini "al-izzah" dari Allah atau apa, itu soal lain. Harus diakui, demo ini paling raksasa dan menyeluruh. Tidak hanya di ibukota, di kota lain juga banyak, bahkan di luar negeri.
Dari sini terbaca, bahwa "jutaan umat islam" militan tengah mendapatkan tokoh yang representatif yang sesuai dengan jiwa militansi mereka sebagai orang beriman yang bermartabat, yang punya semangat ber-amar ma'ruf dan nahi munkar. Hal mana selama ini tidak didapatkan dari tokoh agama lain, meski dari petinggi organisasi keagamaan, seperti kiai dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) atau tokoh dari Muhammadiyah.
Kiai NU cenderung diam dan lemah menghadapi musuh islam yang sedang beraksi, apalagi terhadap pelaku maksiat yang merajalela dengan alasan toleransi, santun, rahmatan li al-alamin, meski mereka terang-terangan tidak toleransi sama sekali kepada perasaan mayoritas, tidak santun, cenderung menguasai dan berbuat seenaknya.
Alasan di atas sungguh kata-kata yang bijak dan menyejukkan, sekaligus membingungkan. Rakyat bingung, apa bedanya santun dengan budeg? Apa bedanya toleransi dengan membiarkan? Apa bedanya rahmatan li alamin dengan lemah iman? Toh nyatanya diam dan tidak berbuat apa-apa. Baru bisa disebut "rahmatan li alamin" dan bijak jika sudah berbuat dengan amal nyata.
Amal nyata itu antara lain: mencegah pelaku maksiat, mencegah kejahatan musuh agama dengan apa yang dia bisa secara bijak dan manusiawi, menghentikan dengan nasehat yang efektif nan mendinginkan, lalu mereka berhenti atau mengurangi keburukannya. Kalau hanya diam atau menasehati pakai kata-kata filosufis, bahasa metoforik dan tidak jelas, ya gak bakalan digubris. Maksiat terus jalan dan kafir terus terus berulah.
Lebih menyedihkan lagi, kiai seni yang nyabdo macam itu sudah merasa dirinya bijak, santun, menyejukkan dan rahmatan li alamin. Ya mesti saja, karena sabdonya itu dinggap bukan nahy 'an al-munkar bagi mereka, malah dianggap "ngajangi ombo", memberi restu dan peluang. Jika seperti itu adanya, maka sabdo kiai lemah iman itu lebih pas disebut "rahmatan li al-kafirin", bukan "li rahmatan al-'alamin".
Masih ingatkah kita saat Habib Rizieq dengan pekik takbir, Allah Akbar di jalan-jalan saat bertindak nahy an al-munkar dulu, seperti merazia tempat maksiat di bulan puasa?
Jihad Habib itu sering dibuat guyonan oleh sebagian kiai NU dalam ceramah-ceramah. Allahu Akbar, 10 ribu. Sami'allahu liman hamidah, 20 ribu yang diiringi gelak tawa hadirin Nahdliyin. Tuhan maha adil, Habib yang dijadikan guyonan itu kini tampil begitu kharismatik dan menjadi imam bagi juataan umat dengan izin Allah, di mana pengaruhnya jauh melampaui mereka yang dulu menertawakan.
Jika mau menguji keluhuran derajat Habib Rizieq spesial soal ini, silakan..! Siapa di antara kiai kita, NU atau Muhammadiyah yang ditokohkan dan bisa memobilisasi umat turun ke jalan menuntut keadilan, membela al-qur'an, membela agama yang dinista, di mana jumlah mereka, damainya, bersihnya dan serentaknya seperti itu? Kita ini pandai mentertawakan orang lain, tapi tidak pandai mentertawakan diri sendiri.
Pertanyaan menggangu penulis saat ketua NU dan Muhammadiyah dirangkul Jokowi, lalu masing-masing melarang atribut ormasnya untuk demo. Itu bagus sekali sebagai tindakan safety organisasi. Itulah kebesaran hati tokoh kita, kiai kita sebagai ulama yang bijak dan mampu bergandeng tangan bersama umara' dalam mengatasi masalah, demi kemaslahatan negara, agama dan bangsa.
Tapi apresiasi itu tiba-tiba terganggu saat penulis ingat instruksi pucuk pimpinan NU tahun-tahun kemarin, agar Ansor-Banser di daerah turun berjaga dan siap mengamankan Gereja dan orang-orang nasrani saat menjalankan ibadah natalan. Mereka benar-benar turun menjaga gereja, siang dan malam sesuai kontrak, lengkap dengan baju seragam dan almamater.
Tapi saat ada demo kemarin, di mana ratusan ribu umat islam menunut keadilan atas penistaan agama, Ansor, Banser dan semua Banom dilarang turun. Mereka tiada entah di mana. - Inna lillah wa inna ilaih raji'un -. Bahkan oknum pengurus Ansor malah pernah menjadi ketua tim suksesnya wong kafir dan dibiarkan oleh Syuriah maupun ketua PBNU. Dari kenyataan ini, salahkah bila umat membaca, bahwa Banser, Ansor lebih membela gereja daripada agama islam yang dinista?
Kiai Hasyim Asy'ari dulu mengobarkan Resolusi jihad tidak semata membela negara, melainkan lebih pada ketidakrelaan para kiai, agar jangan sampai negeri yang mayoritas Islam ini dikuasai oleh orang Nasrani, melalui penjajahan. Lihatlah, adakah tokoh pejuang melawan Belanda dari orang Nasrani? Atau ada berapa tokohnya? Atau nama kelompok pejuangnya apa? Sehebat apa perjuangannya?
Bandingkan dengan umat Islam. Ada Hizbullah, Ada Hizbul Wathan, ada Resolusi Jihad, ada perang Sabil dan lain-lain dan hasilnya nyata.
Orang Narsani negeri ini sangat diuntungkan dengan penjajah Belanda yang mencengkeram negeri ini tiga setengah abad. Lihat Rumah Sakit dan bangunan lain, termasuk gedung, asrama, sekolah berikut tanahnya, peninggalan Belanda yang tersebar di banyak kota. Hampir seratus persen diwarisi begitu saja oleh Gereja, nasrani. Padahal semua itu dibangun dari uang rakyat, dari hasil kekayaan negeri ini. Mestinya, setelah Belanda minggat, maka semua itu menjadi milik negara seperti pabrik-pabrik peninggalan Belanda yang kini menjadi milik BUMN.
Sejarah membuktikan, bahwa orang Nasrani, termasuk umumnya WNA China itu numpang hidup di negeri ini, sehingga tidak punya militansi membela negara. Zaman Belanda berkuasa, mereka loyal kepada Belanda. Zaman Orde baru berkuasa, ikut orde baru. Zaman Reformasi, ya ikut reformasi. Saat pak Harto dulu berkuasa, mereka leluasa mengeruk kekayaan negeri ini lewat bisnis raksasa yang memang dibuka luas oleh rezim waktu itu.
Silakan buka kembali kasus BLBI, jika berani. Kerugian negara akibat ulah pengusaha hitam era orde baru terkait BLBI itu ratusan triliun rupiah. Masih ingat Edy Tansil (China) yang membawa kabur Rp 1.3 triliun rupiah dan hingga kini tidak ada kabarnya. Waktu itu, kurs per satu dolar Amerika sekitar Rp. 1.400.- Tapi kalau pribumi yang korupsi, lain lagi, bisa diuber hingga ke luar negeri. Ini bukan menebar provokasi lewat isu SARA, tapi menunaikan amanat nasehat dengan cara membuka sejarah untuk peringatan, agar ke depan lebih baik bagi semua pihak.
Dari pembacaan politik, Jokowi yang hanya mengundang tokoh NU dan Muhammadiyah tanpa mengundang pihak Habib Rizieq sungguh cara jahat yang sangat keji. Jokowi, secara sengaja mengadu NU plus Muhammadiyah melawan mereka, sementara dia senyum-senyum dan menghilang saat ratusan umat islam penuntut keadilan ingin ketemu dengannya. Mudah-mudahan Habib Rizieq dan habaib lain tidak terpengaruh oleh ulah Jokowi ini dan tetap berbesar hati membela agama Allah SWT, tetap bersaudara dengan sesama muslim. | asyidda' ala al-kuffar ruhama' bainahum".
Berdasar bukti ini, salahkah jika kita membaca, bahwa Jokowi sengaja memanfaatkan momen 4 November tersebut untuk memecah belah umat islam?
Hanya saja, merasa kah kedua tokoh NU dan Muhammadiyah itu sedang diakali Jokowi? Sekali lagi. Lihat buktinya, Jokowi tidak mau ambil risiko. Dia sengaja menghilang saat ratusan ribu umat islam menuntut keadilan.
Bandingkan, sekali lagi bandingkan dengan sikap Jokowi menangani tragedi pembakaran masjid di Papua oleh nonmuslim. Umat islam sudah siap melakukan perlawanan, tapi Jokowi cepat mengambil tindakan. Tokoh-tokoh gereja, pengurus Dewan Gereja Indonesia diterima begitu mesra di istana dengan jamuan mewah penuh kemesraan. Dengan sentuhan tangan Jokowi itu, situasi di daerah pembakaran kembali damai. Orang Nasrani menikmati kejahatannya membakar masjid, sementara umat islam tetap dalam tekanan dan dipaksa mengalah terus.
Jokowi yang saat kampanye pemilihan presiden dulu dinobatkan sebagai sosok paling akrab dengan rakyat, Jokowi adalah Rakyat, blusukan ke rakyat, menyapa pedagang kaki lima, naik bajaj ke kantor KPU, menyalami rakyat, ternyata saat ratusan ribu rakyat muslim sekedar ingin bertemu memohon keadilan karena agama Islam sedang dinista, sengaja ditinggal pergi, sengaja dan sengaja. Di sini, kita umat Islam yang masih jernih pandangannya bisa membaca, sejatinya Jokowi itu siapa.
Lagunya Jokowi, biasanya kalau keadaan sudah kondusif, dia lalu mengundang tokoh-tokoh agama untuk makan bersama di istana. Guyon-guyon dan akrab-akraban. Jika tokoh yang dibidik itu tidak datang, maka sudah disiapkan juru bicara yang mengomentari dari berbagai sisi. Termasuk sisi agama. Tokoh yang tidak mau hadir itu dianggap tidak berjiwa besar, pendendam, kurang bisa berlaku legowo, tidak mau memaafkan, tidak mencontoh kebesaran jiwa Nabi yang pemaaf dan lain-lain.
Sumber: bangsaonline.com
إرسال تعليق