Kenapa perjuangan sebagian muslim Filipina di bawah bendera Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) yang mahsyur itu seperti tak mengenal letih? Rupanya, setelah menelisik sejarah masa lalu Filipina, penulis seperti mendapati sebuah pemakluman. Ada jawaban perih yang tak bisa dihilangkan dari memori kaum Muslim Filipina: sebuah jawaban yang hingga saat ini melecutkan harapan dan menimbulkan konflik berdarah.
Dan menyebarlah berita tentang muslim Filipina yang lekat sebagai muslim teroris yang tak kenal kompromi.
Seperti apakah muslim Filipina menyikapinya? Bagaimanakah dinamika kehidupan muslim Filipina di abad millenium ini?
Siapa yang menduga kalau nama Manila, ibu kota Filipina itu, berasal dari kata Fi Amanillah (B. Arab) yang berarti di bawah lindungan Allah? Tidak banyak yang tahu, memang, kalau kota pusat transaksi perdagangan bangsa Filipina itu dahulu kala menganut sistem pemerintahan Islam.
Sebab, menurut catatan sejarah, sebelum Spanyol datang menjajah di tahun 1565, para sultan Islam dari Brunei Darrussalam dan Johor sudah terlebih dahulu menempati wilayah tersebut. Tak aneh, bila pencetusan nama Manila pun diadopsi berdasarkan kata di atas. Mereka berharap bahwa kelak suatu saat nanti, Manila akan menjadi kota yang tidak hanya menganut sistem pemerintahan Islam yang demokratis tapi juga modern, aman, dan sejahtera. Dalam beberapa dekade, cita-cita itu sempat terlaksana.
Namun sayang, ketika bangsa Spanyol berhasil menaklukan Manila dan beberapa daerah di kepulauan Filipina, harapan itu menjadi mimpi belaka. Yang paling kentara antara lain; Pertama, penduduk Filipina yang dulu mayoritas umat Islam, kini menjadi kaum minoritas alias warga kelas dua. Sekitar 5-7 juta atau sekitar 8,5 persen dari 66 juta jiwa penduduk Filipina adalah Muslim. Selebihnya merupakan umat Kristen Katholik Filipina. Kedua, dahulu kala segala tuntutan sosial, ekonomi dan politik muslim Filipina merupakan perkara yang selalu diperhatikan pemerintah, sementara sekarang ini umat Islam Filipina mendapat banyak rintangan.
ISLAM FILIPINA DI MASA SILAM
Bila menengok lembar sejarah Filipina, umat muslim Filipina telah ada sejak abad 13. Filipina sendiri waktu itu belum berbentuk negara menjadi Republik Filipina. Ia hanya sebentuk kepulauan rumpun melayu yang dijadikan tempat berniaga para pedagang muslim dan persinggahan para ulama dari Gujarat, India, dan Timur Tengah. Untuk pertama kalinya, mereka menempati Kepulauan Sulu.
Namun, setelah itu, petualang-petualang muslim Melayu menyusul dan mendirikan kesultanan di bagian Filipina, yakni Sulu, Palawan dan Mindanao. Diantara mereka adalah para da’i dari pulau Kalimantan yang kebetulan berdekatan dengan Sulu. Maka berkembanglah dengan pesatnya kehidupan muslim di tiga daerah ini. Pengaruhnya bukan hanya pada perkembangan agama, tapi juga secara sosial-kultural di masyarakatnya.
Menurut data Peter Gowing dalam Muslim Filipinos-Heritage and Horizon, muslim Filipina dibagi ke dalam 12 kelompok etno-linguistik (suku-bangsa). Enam yang paling utama adalah Maguindanao, Maranou, Iranum, Tausug, Samal dan Yakan. Preang sisanya yaitu Jama Mapun, Kelompok Palawan (Palawani dan Molbog), Kalagan, Kolibugan dan Sangil.
Kendati suku-bahasa itu sangat beragam, bahasa kelompok muslim sendiri memiliki kesamaan. Misalnya, bahasa Manguindanao dan Maranao dapat diucapkan dan dimengerti oleh kedua kelompok ini. Tetapi ada pula beberapa dialek yang dipakai baik oleh orang Islam maupun orang Kristen, yakni bahasa Samal, Jama Mapun, dan Badjao. Sementara bahasa Tagalog dan Visayan banyak digunakan oleh orang-orang Kristen.
Namun demikian, menurut pakar bahasa modern, beberapa bahasa dan dialek orang-orang Filipina Islam dan Kristen semuanya berasal dari rumpun linguistik (bahasa) yang sama, dan memiliki banyak kesamaan. Lebih dari itu, baik orang Islam maupun Kristen Filipina termasuk suku bangsa Melayu (lihat buku Dinamika Islam Filipina, karya Cesar A. Majul: LP3ES, 1989).
Kala itu, bertani dan menangkap ikan adalah mata pencaharian utama mereka. Bahkan, ada beberapa kelompok yang dikenal menggantungkan hidup dari industri rumah tangga, seperti kerajinan tangan, anyaman, serta aktivitas perdagangan. Wajar, bila tempat mereka tinggal, praktis tidak mempunyai basis industri seperti pabrik.
Secara tradisional, kelompok-kelompok Islam itu sangat mencolok perbedaannya ketika mereka menjalankan tradisi dan hukum (adat) yang beberapa di antaranya terbentuk sebelum kedatangan Islam. Artinya, tali persaudaraan muslim Filipina sangat jarang terjadi. Mereka lebih bangga terhadap identitas masing-masing. Kendati demikian, biasanya kelompok-kelompok tersebut memiliki struktur sosial yang serupa.
Sepanjang sejarah mereka, struktur sosial-politik tersebut berdasarkan sistem datu, yang juga seperti adat, yakni sebuah lembaga dari masa sebelum kedatangan Islam. Datu itu sendiri adalah penguasa lokal (kecil), atau pangeran muda dengan kekuasaan eksekutif dan militer. Dengan kedatangan Islam, beberapa datu yang sangat kuat kekuasaannya, akhirnya menerima gelar sultan. Wajar bila ketegangan antara sultan-sultan dan datu-datu acapkali terjadi.
Tidak hanya itu, pada abad-abad yang lampau, kelompok-kelompok Islam secara tunggal membentuk kesatuan-kesatuan politik yang bebas, atau beberapa kelompok bergabung untuk membentuk berbagai kekuatan politik. Kadang-kadang di antara mereka terjadi pertarungan maupun persaingan ekonomi. Fakta demikian menunjukkan bahwa mereka berhak mengajukan segala tuntutan sosial-politik dan ekonomi dengan bebas dan adil berdasarkan kebutuhan kelompoknya masing-masing. Tak aneh jika kalangan kelompok-kelompok Islam memiliki perbedaan pendapat dalam menerapkan bentuk-bentuk lembaga keIslaman mereka. Kendati demikian, bila timbul ancaman bahaya umum dari luar, mereka tetap bekerjasama dalam pertahanan militer.
SPANYOL DAN PERANG MORO
Hal inilah yang ditunjukkan mereka ketika Spanyol berniat mengubah Filipina menjadi wilayah Katholik. Ada tiga kesultanan, yakni Sulu, Maguindanao dan Bayan yang menentang dan melawan sekuat tenaga rencana bangsa Spanyol itu. Sayang, kota Manila yang diperintah oleh kerabat Sultan Brunei Darussalam dengan begitu mudahnya direbut Spanyol.
Selanjutnya, dengan trik kekerasan, persuasi atau menundukkan secara halus dengan hadiah-hadiah, orang-orang Spanyol dapat memperluas kedaulatannya ke seluruh perkampungan (barangay) Filipina yang terpencar-pencar secara luas. Konon nama Filipina sendiri diambil dari nama Raja Philipe, salah satu raja Spanyol yang sempat berkuasa. Meskipun begitu, mereka tak mampu menaklukan kesultanan-kesultanan di Selatan.
Pada saat inilah, genderang perang Kristen dan Islam bernama ‘Perang Moro’ mulai digelar. Politik perang sebangsa pun digulirkan. Para penjajah Spanyol membuat peta pertempuran antara indo Kristen (para pribumi Filipina yang telah ter-Kristenkan) dengan orang-orang Moro (sebutan orang-orang Spanyol untuk menamakan pribumi Filipina yang beragama Islam karena mereka mempunyai kepercayaan yang sama dengan orang-orang Moor Spanyol).
Orang-orang Moro sendiri adalah umat Islam di bagian Selatan Filipina. Struktur pemerintahannya sendiri masih berpusat pada seorang Sultan; pemimpin agama dan pemerintahan yang terikat dengan hukum Islam. Adapun datu di kalangan mereka dipercaya sebagai tokoh masyarakat yang sangat terpengaruh. Datu-lah yang juga memainkan peranan penting ditengah komunitas muslim. Moro hingga tahun 80-an. Di banyak tempat, para datu-lah yang menjalankan administrasi pemerintahan yang menggunakan syari’at Islam. Demikian sekilas kaum muslim Moro. Dengan model kepemimpinan Islam yang kuat tersebut, tentu saja kaum indo-Kristen bertambah semangat ingin menundukkan mereka.
Akhirnya, perang kedua kelompok yang masih sedarah itu menimbulkan pengaruh luar biasa di kemudian hari. Ratusan tahun kemudian, ketika masa senja kolonial Spanyol mulai surut dan Amerika datang menggantikan Spanyol. Perang Moro masih terus berlangsung. Meskipun dengan bentuk dan isi yang berbeda, namun tetap bertujuan sama.
Semua ini berawal pada tahun 1898 tatkala Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat setelah penandatanganan Perjanjian Paris. Keluar dari mulut macan, masuk mulut buaya. Begitulah gambaran yang tepat untuk melukiskan perjuangan muslim Moro.
Superioritas militer Amerika Serikat memaksa para datu yang gigih untuk tunduk pada kekuasaan Amerika Serikat. Para pejabat Amerika sendiri membiarkan Islam dan hukum adat Moro tak tersentuh, asal tidak bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat.
Namun, mengetahui bakal terjajah kembali, meski bentuk penjajagannwa tak tampak oleh mata, orang-orang Moro mulai kritis dan mengajukan beberapa usulan. Ketika orang-orang Filipina mulai dilatih untuk mempersiapkan pemerintahan sendiri menuju kemerdekaan, para sultan, datu, dan pemimpin agama Islam mengajukan petisi kepada para pejabat Amerika agar wilayah mereka tidak diikutkan pada negara merdeka yang direncanakan. Mereka menginginkan tetap berbeda dari Filipina Kristen, bertahan dibawah perlindungan Amerika sampai mereka dapat mendirikan negara sendiri yang terpisah.
Dan puncaknya ketika Republik Filipina resmi didirikan pada tahun 1946, orang-orang Moro dimasukkan dalam struktur politik tanpa konsultasi dan izin mereka. Tentu saja hal tersebut menuai protes tajam dari orang-orang Moro. Banyak pelanggaran hukum dan ketertiban yang mengkhawatirkan terjadi di wilayah Moro. Hingga komite Senat Filipina, pada tahun 1951, menyimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan situasi tersebut adalah karena kebanyakan orang Moro tidak mengidentifikasi diri mereka dengan bangsa Filipina atau tidak setuju dengan kebijakan nasional.
Terlebih pada tahun 50-an, ketika Amerika dan orang-orang Spanyol mendorong gelombang migrasi kaum Nasrani (Kristen) dari Utara ke kawasan Selatan, tempat muslim Moro menetap dan berkembang biak, pelbagai konflik agama merebak dari hari ke hari. Rata-rata mereka berasal dari ratusan kepala keluarga etnis Ilongo, Ilocano, Tagalog dan lain-lainnya. Mulai dari persoalan tanah, mata pelajaran sekolah hingga tempat ibadah menjadi bahan sengketa di antara mereka.
Karena itu, untuk mencegah konflik berkepanjangan dan merangkul kaum minoritas muslim, pada tahun 1956 pemerintah Filipina membentuk Komisi Integrasi Nasional yang selanjutnya digantikan oleh office of Muslim Affairs and Cultural Communities. Inilah organisasi yang mengurusi kepentingan muslim Filipina.
Kendati niat mulia itu sudah terwujud, namun permusuhan antara orang-orang Moro dan Indio-Kristen masih terus bergolak. Terutama sekali pada tahun 70-an, saat satu organisasi teroris Nasrani bernama Ilagas terbentuk. Awalnya organisasi ini beroperasi di Cotabatos. Namun, perlahan-lahan gerakan ini semakin menyebar. Kaum muslim lantas membentuk gerakan perlawanan yang diberi nama Blackshirt untuk menghadang kemunculan teroris tersebut. Hal serupa terjadi juga di wilayah Lanao. Di sana, kelompok muslim bernama Barracuda melakukan perlawanan terhadap Ilagas. Dan, konflik pun terus meruyak dari satu daerah ke daerah lainnya.
Konflik-konflik di atas sebetulnya diperburuk oleh beberapa faktor, antara lain; membanjirnya pemukiman Kristen ke wilayah-wilayah Muslim secara tak terkendali; penelantaran nasional yang terus-menerus terhadap aspirasi ekonomi dan pendidikan bangsa Moro; diskriminasi yang terang-terangan dalam melayani kaum muslim dikantor-kantor pada tingkat nasional; hilangnya kekuasaan politik para pemimpin Moro di daerah kekuasaan mereka semula; konflik tajam mengenai tanah antara penduduk Moro dan Kristen.
Sejumlah alasan inilah yang secara progresif meningkatkan pertikaian bersenjata antara kelompok Kristen dan Moro dimana kepolisian atau tentara biasanya memihak pada pihak yang pertama. Tak aneh, bila orang-orang Moro meneriakkan isu “pembersian etnis” untuk menarik simpati Dunia Muslim.
Maka ketegangan itu mengalami puncaknya pada tahun 1972. Kala itu, saat Presiden Ferdinand Marcos tengah menerapkan hukuman mati dengan diikuti usaha-usaha melucuti senjata orang-orang Moro, muncul pemberontakan secara terbuka. Gerakan pembebasan yang paling mendapat dukungan luas ialah Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) dengan kelompok militer mereka, Tentara Bangsa Moro (BMA) yang dipimpin oleh Nur Misuari, mantan pengajar dari Universitas Filipina. Organisasi inilah yang kemudian banyak mendapat sambutan dunia Islam. Baik media massa cetak maupun elektronik dari pelbagai negara pernah menceritakan aktifitas revolusioner-radikal MNLF.
Dampak pemberitaan media memang luar biasa. Beberapa negara Islam turut prihatin atas nasib orang-orang Moro. Maka, Organisasi Konferensi Islam (OKI) bersama mediasi Libya mempengaruhi pemerintah Filipina dan MNLF guna menandatangani Perjanjian Tripoli pada 1976, yang memberi suatu bentuk otonomi khusus bagi tiga bekas provinsi yang berpenduduk Muslim.
Namun, baik otonomi yang diberikan oleh rezim Presiden Marcos pada 1977 maupun otonomi di bawah pemerintahan Corazon Aquino pada 1989 tidak memuaskan harapan OKI dan tuntutan MNLF. Tak heran, pada tahun itu pula, MNLF memperbaharui tuntutannya untuk memisahkan diri dari Filipina sambil mencari status keanggotaan OKI.
Walhasil, terobosan paling signifikan adalah ketika wilayah otonomi Muslim Mindanao terwujud pada tahun 1990 yang secara langsung memberikan peluang bagi kaum Muslim untuk mengatur beberapa aspek pemerintahan di luar bidang Keamanan dan Luar Negeri. Itu pun karena Mindanao termasuk salah satu daerah yang susah ditundukkan penjajah.
MUSLIM FILIPINA MASA KINI
Kendati telah terluka oleh kolonialisme Spanyol dan Amerika, kaum muslim Filipina terus berusaha menghidupkan kebudayaan dan peradaban baru sesuai harapan dan cita-cita mereka. Di negeri yang memiliki 7000 pulauan dan 100 dialek bertutur ini, kaum muslim Filipina pelan-pelan mengumpulkan kembali sisa-sisa kemajuan Islam dahulu kala. Baik fisik maupun non-fisik.
Pada tingkat fisik, misalnya. Banyak masjid dan madrasah baru didirikan berdasarkan bantuan dari organisasi-organisasi Muslim luar. Bahkan, dewasa ini terdapat 1500 madrasah yang sudah berdiri, tetapi kebanyakan tidak lebih dari tingkat menengah saja. Tidak hanya itu, pemerintah Filipina sendiri memberikan beasiswa untuk para pelajar Moro yang berprestasi. Sementara pemerintah Mesir menawarkan beasiswa bagi orang-orang Moro untuk belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo. Untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak Moro, guru-guru Muslim dari luar negeri pun mulai berdatangan untuk mengajar di wilayah Moro selama beberapa tahun.
Wajar bila orang-orang Moro banyak yang mulai berkarir di pemerintahan Filipina, meskipun baru sebatas diterima pada posisi-posisi puncak Departemen Kehakiman dan Departemen Urusan Luar Negeri saja.
Di lain hal, pada tahun 1977, Undang-Undang Hukum Perdata Muslim Nasional, dengan satu pasal mengenai mufti, disahkan, meskipun tidak semua kantor peradilan dan wilayah syari’at memberlakukan undang-undang tersebut. Selanjutnya pada tahun 1981, sebuah Kementrian Urusan Islam (Office of Muslim Affairs) pertama dibentuk.
Dari kantor inilah diketahui, orang-orang Filipina banyak yang kembali memeluk Islam. Dalam bahasa Tagalog, bahasa Nasional Filipina, mereka disebut kaum ‘Balik Islam’.
Kebanyakan mereka tinggal di kepulauan Luzon. Dan berdasarkan data Office of Muslim Affairs itu, 6,599 juta orang lokal komunitas Islam di sana, 200 ribu diantaranya adalah kaum Balik Islam. Bahkan, sejak peristiwa 11 September yang menyerang Amerika Serikat, jumlah tersebut kian meningkat. Banyak orang-orang Balik Islam yang kembali memeluk Islam setelah mengkaji lagi ajaran Islam. Terlebih bagi orang Filipina yang memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dengan dunia Islam.
Demikianlah kondisi terakhir Islam di Filipina. Walaupun sekarang muslim Filipina hanya menempati posisi penduduk kelas dua, namun usaha untuk merajut kembali sejarah yang pernah terkoyak masih terus berlanjut. Terutama sekali, upaya membangun kehidupan sosio-ekonomi orang-orang Moro agar lebih baik dari hari kemarin.
Wallahu ‘alam bil shawab.
(Dari Majalah Hidayah edisi spesial Idul Fitri 1425 H.)
Perlahan tapi pasti Indonesia pun tengah menuju Philipinaisasi, jika saja umat Islam tidak waspada dan terus berjuang…
Dan menyebarlah berita tentang muslim Filipina yang lekat sebagai muslim teroris yang tak kenal kompromi.
Seperti apakah muslim Filipina menyikapinya? Bagaimanakah dinamika kehidupan muslim Filipina di abad millenium ini?
Siapa yang menduga kalau nama Manila, ibu kota Filipina itu, berasal dari kata Fi Amanillah (B. Arab) yang berarti di bawah lindungan Allah? Tidak banyak yang tahu, memang, kalau kota pusat transaksi perdagangan bangsa Filipina itu dahulu kala menganut sistem pemerintahan Islam.
Sebab, menurut catatan sejarah, sebelum Spanyol datang menjajah di tahun 1565, para sultan Islam dari Brunei Darrussalam dan Johor sudah terlebih dahulu menempati wilayah tersebut. Tak aneh, bila pencetusan nama Manila pun diadopsi berdasarkan kata di atas. Mereka berharap bahwa kelak suatu saat nanti, Manila akan menjadi kota yang tidak hanya menganut sistem pemerintahan Islam yang demokratis tapi juga modern, aman, dan sejahtera. Dalam beberapa dekade, cita-cita itu sempat terlaksana.
Namun sayang, ketika bangsa Spanyol berhasil menaklukan Manila dan beberapa daerah di kepulauan Filipina, harapan itu menjadi mimpi belaka. Yang paling kentara antara lain; Pertama, penduduk Filipina yang dulu mayoritas umat Islam, kini menjadi kaum minoritas alias warga kelas dua. Sekitar 5-7 juta atau sekitar 8,5 persen dari 66 juta jiwa penduduk Filipina adalah Muslim. Selebihnya merupakan umat Kristen Katholik Filipina. Kedua, dahulu kala segala tuntutan sosial, ekonomi dan politik muslim Filipina merupakan perkara yang selalu diperhatikan pemerintah, sementara sekarang ini umat Islam Filipina mendapat banyak rintangan.
ISLAM FILIPINA DI MASA SILAM
Bila menengok lembar sejarah Filipina, umat muslim Filipina telah ada sejak abad 13. Filipina sendiri waktu itu belum berbentuk negara menjadi Republik Filipina. Ia hanya sebentuk kepulauan rumpun melayu yang dijadikan tempat berniaga para pedagang muslim dan persinggahan para ulama dari Gujarat, India, dan Timur Tengah. Untuk pertama kalinya, mereka menempati Kepulauan Sulu.
Namun, setelah itu, petualang-petualang muslim Melayu menyusul dan mendirikan kesultanan di bagian Filipina, yakni Sulu, Palawan dan Mindanao. Diantara mereka adalah para da’i dari pulau Kalimantan yang kebetulan berdekatan dengan Sulu. Maka berkembanglah dengan pesatnya kehidupan muslim di tiga daerah ini. Pengaruhnya bukan hanya pada perkembangan agama, tapi juga secara sosial-kultural di masyarakatnya.
Menurut data Peter Gowing dalam Muslim Filipinos-Heritage and Horizon, muslim Filipina dibagi ke dalam 12 kelompok etno-linguistik (suku-bangsa). Enam yang paling utama adalah Maguindanao, Maranou, Iranum, Tausug, Samal dan Yakan. Preang sisanya yaitu Jama Mapun, Kelompok Palawan (Palawani dan Molbog), Kalagan, Kolibugan dan Sangil.
Kendati suku-bahasa itu sangat beragam, bahasa kelompok muslim sendiri memiliki kesamaan. Misalnya, bahasa Manguindanao dan Maranao dapat diucapkan dan dimengerti oleh kedua kelompok ini. Tetapi ada pula beberapa dialek yang dipakai baik oleh orang Islam maupun orang Kristen, yakni bahasa Samal, Jama Mapun, dan Badjao. Sementara bahasa Tagalog dan Visayan banyak digunakan oleh orang-orang Kristen.
Namun demikian, menurut pakar bahasa modern, beberapa bahasa dan dialek orang-orang Filipina Islam dan Kristen semuanya berasal dari rumpun linguistik (bahasa) yang sama, dan memiliki banyak kesamaan. Lebih dari itu, baik orang Islam maupun Kristen Filipina termasuk suku bangsa Melayu (lihat buku Dinamika Islam Filipina, karya Cesar A. Majul: LP3ES, 1989).
Kala itu, bertani dan menangkap ikan adalah mata pencaharian utama mereka. Bahkan, ada beberapa kelompok yang dikenal menggantungkan hidup dari industri rumah tangga, seperti kerajinan tangan, anyaman, serta aktivitas perdagangan. Wajar, bila tempat mereka tinggal, praktis tidak mempunyai basis industri seperti pabrik.
Secara tradisional, kelompok-kelompok Islam itu sangat mencolok perbedaannya ketika mereka menjalankan tradisi dan hukum (adat) yang beberapa di antaranya terbentuk sebelum kedatangan Islam. Artinya, tali persaudaraan muslim Filipina sangat jarang terjadi. Mereka lebih bangga terhadap identitas masing-masing. Kendati demikian, biasanya kelompok-kelompok tersebut memiliki struktur sosial yang serupa.
Sepanjang sejarah mereka, struktur sosial-politik tersebut berdasarkan sistem datu, yang juga seperti adat, yakni sebuah lembaga dari masa sebelum kedatangan Islam. Datu itu sendiri adalah penguasa lokal (kecil), atau pangeran muda dengan kekuasaan eksekutif dan militer. Dengan kedatangan Islam, beberapa datu yang sangat kuat kekuasaannya, akhirnya menerima gelar sultan. Wajar bila ketegangan antara sultan-sultan dan datu-datu acapkali terjadi.
Tidak hanya itu, pada abad-abad yang lampau, kelompok-kelompok Islam secara tunggal membentuk kesatuan-kesatuan politik yang bebas, atau beberapa kelompok bergabung untuk membentuk berbagai kekuatan politik. Kadang-kadang di antara mereka terjadi pertarungan maupun persaingan ekonomi. Fakta demikian menunjukkan bahwa mereka berhak mengajukan segala tuntutan sosial-politik dan ekonomi dengan bebas dan adil berdasarkan kebutuhan kelompoknya masing-masing. Tak aneh jika kalangan kelompok-kelompok Islam memiliki perbedaan pendapat dalam menerapkan bentuk-bentuk lembaga keIslaman mereka. Kendati demikian, bila timbul ancaman bahaya umum dari luar, mereka tetap bekerjasama dalam pertahanan militer.
SPANYOL DAN PERANG MORO
Hal inilah yang ditunjukkan mereka ketika Spanyol berniat mengubah Filipina menjadi wilayah Katholik. Ada tiga kesultanan, yakni Sulu, Maguindanao dan Bayan yang menentang dan melawan sekuat tenaga rencana bangsa Spanyol itu. Sayang, kota Manila yang diperintah oleh kerabat Sultan Brunei Darussalam dengan begitu mudahnya direbut Spanyol.
Selanjutnya, dengan trik kekerasan, persuasi atau menundukkan secara halus dengan hadiah-hadiah, orang-orang Spanyol dapat memperluas kedaulatannya ke seluruh perkampungan (barangay) Filipina yang terpencar-pencar secara luas. Konon nama Filipina sendiri diambil dari nama Raja Philipe, salah satu raja Spanyol yang sempat berkuasa. Meskipun begitu, mereka tak mampu menaklukan kesultanan-kesultanan di Selatan.
Pada saat inilah, genderang perang Kristen dan Islam bernama ‘Perang Moro’ mulai digelar. Politik perang sebangsa pun digulirkan. Para penjajah Spanyol membuat peta pertempuran antara indo Kristen (para pribumi Filipina yang telah ter-Kristenkan) dengan orang-orang Moro (sebutan orang-orang Spanyol untuk menamakan pribumi Filipina yang beragama Islam karena mereka mempunyai kepercayaan yang sama dengan orang-orang Moor Spanyol).
Orang-orang Moro sendiri adalah umat Islam di bagian Selatan Filipina. Struktur pemerintahannya sendiri masih berpusat pada seorang Sultan; pemimpin agama dan pemerintahan yang terikat dengan hukum Islam. Adapun datu di kalangan mereka dipercaya sebagai tokoh masyarakat yang sangat terpengaruh. Datu-lah yang juga memainkan peranan penting ditengah komunitas muslim. Moro hingga tahun 80-an. Di banyak tempat, para datu-lah yang menjalankan administrasi pemerintahan yang menggunakan syari’at Islam. Demikian sekilas kaum muslim Moro. Dengan model kepemimpinan Islam yang kuat tersebut, tentu saja kaum indo-Kristen bertambah semangat ingin menundukkan mereka.
Akhirnya, perang kedua kelompok yang masih sedarah itu menimbulkan pengaruh luar biasa di kemudian hari. Ratusan tahun kemudian, ketika masa senja kolonial Spanyol mulai surut dan Amerika datang menggantikan Spanyol. Perang Moro masih terus berlangsung. Meskipun dengan bentuk dan isi yang berbeda, namun tetap bertujuan sama.
Semua ini berawal pada tahun 1898 tatkala Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat setelah penandatanganan Perjanjian Paris. Keluar dari mulut macan, masuk mulut buaya. Begitulah gambaran yang tepat untuk melukiskan perjuangan muslim Moro.
Superioritas militer Amerika Serikat memaksa para datu yang gigih untuk tunduk pada kekuasaan Amerika Serikat. Para pejabat Amerika sendiri membiarkan Islam dan hukum adat Moro tak tersentuh, asal tidak bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat.
Namun, mengetahui bakal terjajah kembali, meski bentuk penjajagannwa tak tampak oleh mata, orang-orang Moro mulai kritis dan mengajukan beberapa usulan. Ketika orang-orang Filipina mulai dilatih untuk mempersiapkan pemerintahan sendiri menuju kemerdekaan, para sultan, datu, dan pemimpin agama Islam mengajukan petisi kepada para pejabat Amerika agar wilayah mereka tidak diikutkan pada negara merdeka yang direncanakan. Mereka menginginkan tetap berbeda dari Filipina Kristen, bertahan dibawah perlindungan Amerika sampai mereka dapat mendirikan negara sendiri yang terpisah.
Dan puncaknya ketika Republik Filipina resmi didirikan pada tahun 1946, orang-orang Moro dimasukkan dalam struktur politik tanpa konsultasi dan izin mereka. Tentu saja hal tersebut menuai protes tajam dari orang-orang Moro. Banyak pelanggaran hukum dan ketertiban yang mengkhawatirkan terjadi di wilayah Moro. Hingga komite Senat Filipina, pada tahun 1951, menyimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan situasi tersebut adalah karena kebanyakan orang Moro tidak mengidentifikasi diri mereka dengan bangsa Filipina atau tidak setuju dengan kebijakan nasional.
Terlebih pada tahun 50-an, ketika Amerika dan orang-orang Spanyol mendorong gelombang migrasi kaum Nasrani (Kristen) dari Utara ke kawasan Selatan, tempat muslim Moro menetap dan berkembang biak, pelbagai konflik agama merebak dari hari ke hari. Rata-rata mereka berasal dari ratusan kepala keluarga etnis Ilongo, Ilocano, Tagalog dan lain-lainnya. Mulai dari persoalan tanah, mata pelajaran sekolah hingga tempat ibadah menjadi bahan sengketa di antara mereka.
Karena itu, untuk mencegah konflik berkepanjangan dan merangkul kaum minoritas muslim, pada tahun 1956 pemerintah Filipina membentuk Komisi Integrasi Nasional yang selanjutnya digantikan oleh office of Muslim Affairs and Cultural Communities. Inilah organisasi yang mengurusi kepentingan muslim Filipina.
Kendati niat mulia itu sudah terwujud, namun permusuhan antara orang-orang Moro dan Indio-Kristen masih terus bergolak. Terutama sekali pada tahun 70-an, saat satu organisasi teroris Nasrani bernama Ilagas terbentuk. Awalnya organisasi ini beroperasi di Cotabatos. Namun, perlahan-lahan gerakan ini semakin menyebar. Kaum muslim lantas membentuk gerakan perlawanan yang diberi nama Blackshirt untuk menghadang kemunculan teroris tersebut. Hal serupa terjadi juga di wilayah Lanao. Di sana, kelompok muslim bernama Barracuda melakukan perlawanan terhadap Ilagas. Dan, konflik pun terus meruyak dari satu daerah ke daerah lainnya.
Konflik-konflik di atas sebetulnya diperburuk oleh beberapa faktor, antara lain; membanjirnya pemukiman Kristen ke wilayah-wilayah Muslim secara tak terkendali; penelantaran nasional yang terus-menerus terhadap aspirasi ekonomi dan pendidikan bangsa Moro; diskriminasi yang terang-terangan dalam melayani kaum muslim dikantor-kantor pada tingkat nasional; hilangnya kekuasaan politik para pemimpin Moro di daerah kekuasaan mereka semula; konflik tajam mengenai tanah antara penduduk Moro dan Kristen.
Sejumlah alasan inilah yang secara progresif meningkatkan pertikaian bersenjata antara kelompok Kristen dan Moro dimana kepolisian atau tentara biasanya memihak pada pihak yang pertama. Tak aneh, bila orang-orang Moro meneriakkan isu “pembersian etnis” untuk menarik simpati Dunia Muslim.
Maka ketegangan itu mengalami puncaknya pada tahun 1972. Kala itu, saat Presiden Ferdinand Marcos tengah menerapkan hukuman mati dengan diikuti usaha-usaha melucuti senjata orang-orang Moro, muncul pemberontakan secara terbuka. Gerakan pembebasan yang paling mendapat dukungan luas ialah Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) dengan kelompok militer mereka, Tentara Bangsa Moro (BMA) yang dipimpin oleh Nur Misuari, mantan pengajar dari Universitas Filipina. Organisasi inilah yang kemudian banyak mendapat sambutan dunia Islam. Baik media massa cetak maupun elektronik dari pelbagai negara pernah menceritakan aktifitas revolusioner-radikal MNLF.
Dampak pemberitaan media memang luar biasa. Beberapa negara Islam turut prihatin atas nasib orang-orang Moro. Maka, Organisasi Konferensi Islam (OKI) bersama mediasi Libya mempengaruhi pemerintah Filipina dan MNLF guna menandatangani Perjanjian Tripoli pada 1976, yang memberi suatu bentuk otonomi khusus bagi tiga bekas provinsi yang berpenduduk Muslim.
Namun, baik otonomi yang diberikan oleh rezim Presiden Marcos pada 1977 maupun otonomi di bawah pemerintahan Corazon Aquino pada 1989 tidak memuaskan harapan OKI dan tuntutan MNLF. Tak heran, pada tahun itu pula, MNLF memperbaharui tuntutannya untuk memisahkan diri dari Filipina sambil mencari status keanggotaan OKI.
Walhasil, terobosan paling signifikan adalah ketika wilayah otonomi Muslim Mindanao terwujud pada tahun 1990 yang secara langsung memberikan peluang bagi kaum Muslim untuk mengatur beberapa aspek pemerintahan di luar bidang Keamanan dan Luar Negeri. Itu pun karena Mindanao termasuk salah satu daerah yang susah ditundukkan penjajah.
MUSLIM FILIPINA MASA KINI
Kendati telah terluka oleh kolonialisme Spanyol dan Amerika, kaum muslim Filipina terus berusaha menghidupkan kebudayaan dan peradaban baru sesuai harapan dan cita-cita mereka. Di negeri yang memiliki 7000 pulauan dan 100 dialek bertutur ini, kaum muslim Filipina pelan-pelan mengumpulkan kembali sisa-sisa kemajuan Islam dahulu kala. Baik fisik maupun non-fisik.
Pada tingkat fisik, misalnya. Banyak masjid dan madrasah baru didirikan berdasarkan bantuan dari organisasi-organisasi Muslim luar. Bahkan, dewasa ini terdapat 1500 madrasah yang sudah berdiri, tetapi kebanyakan tidak lebih dari tingkat menengah saja. Tidak hanya itu, pemerintah Filipina sendiri memberikan beasiswa untuk para pelajar Moro yang berprestasi. Sementara pemerintah Mesir menawarkan beasiswa bagi orang-orang Moro untuk belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo. Untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak Moro, guru-guru Muslim dari luar negeri pun mulai berdatangan untuk mengajar di wilayah Moro selama beberapa tahun.
Wajar bila orang-orang Moro banyak yang mulai berkarir di pemerintahan Filipina, meskipun baru sebatas diterima pada posisi-posisi puncak Departemen Kehakiman dan Departemen Urusan Luar Negeri saja.
Di lain hal, pada tahun 1977, Undang-Undang Hukum Perdata Muslim Nasional, dengan satu pasal mengenai mufti, disahkan, meskipun tidak semua kantor peradilan dan wilayah syari’at memberlakukan undang-undang tersebut. Selanjutnya pada tahun 1981, sebuah Kementrian Urusan Islam (Office of Muslim Affairs) pertama dibentuk.
Dari kantor inilah diketahui, orang-orang Filipina banyak yang kembali memeluk Islam. Dalam bahasa Tagalog, bahasa Nasional Filipina, mereka disebut kaum ‘Balik Islam’.
Kebanyakan mereka tinggal di kepulauan Luzon. Dan berdasarkan data Office of Muslim Affairs itu, 6,599 juta orang lokal komunitas Islam di sana, 200 ribu diantaranya adalah kaum Balik Islam. Bahkan, sejak peristiwa 11 September yang menyerang Amerika Serikat, jumlah tersebut kian meningkat. Banyak orang-orang Balik Islam yang kembali memeluk Islam setelah mengkaji lagi ajaran Islam. Terlebih bagi orang Filipina yang memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dengan dunia Islam.
Demikianlah kondisi terakhir Islam di Filipina. Walaupun sekarang muslim Filipina hanya menempati posisi penduduk kelas dua, namun usaha untuk merajut kembali sejarah yang pernah terkoyak masih terus berlanjut. Terutama sekali, upaya membangun kehidupan sosio-ekonomi orang-orang Moro agar lebih baik dari hari kemarin.
Wallahu ‘alam bil shawab.
(Dari Majalah Hidayah edisi spesial Idul Fitri 1425 H.)
Perlahan tapi pasti Indonesia pun tengah menuju Philipinaisasi, jika saja umat Islam tidak waspada dan terus berjuang…
إرسال تعليق