Darah dan sekresi kelamin dari orang-orang dengan HIV dianggap menular dan harus sangat hati-hati  dalam menanganinya. Cairan yang terkontaminasi dengan darah juga berpotensi menjadi penyebab infeksi virus HIV. Feses, sekresi hidung, air liur, dahak, keringat, air mata, air seni, dan muntah tidak dianggap menular kecuali tampak bercampur dengan darah.

Seorang tenaga medis sering berada pada resiko tinggi untuk mengalami infeksi virus HIV karena terkontaminasi darah maupun sekresi pengidap HIV/AIDS saat menjalankan tugasnya, oleh karenanya dituntut kehati-hatian ekstra dalam menangani pasien dengan HIV/AIDS

Beberapa kemungkinan terjadinya infeksi firus HIV pada perawat kesehatan biasanya disebabkan oleh kelalaian maupun kecelakaan yang menyebabkannya terpapar sekresi maupun darah pengidap HIV/AIDS, berikut ini kemungkinan-kemungkinan tersebut:


  • Terluka oleh benda tajam seperti pisau bedah yang terkontaminasi dengan darah;

  • Paparan dari selaput lendir cairan menular (selaput lendir yang mungkin terkena cipratan cairan dengan virus HIV  termasuk mulut, hidung, dan mata);

  • Paparan dari luka terbuka atau terkelupas  oleh sekresi dengan virus HIV

  • Jarum suntik (biasanya saat mengambil  darah dari seseorang dengan AIDS);


Risiko rata-rata infeksi virus HIV karena  cedera jarum suntik adalah sekitar 0,3% dan infeksi setelah paparan mukosa membran darah adalah sekitar 0,09%. Untuk paparan kulit terkelupas, risiko diperkirakan kurang dari paparan selaput lendir. Ada juga beberapa faktor yang dapat mempengaruhi risiko penularan HIV seperti jumlah darah dari sumber yang terinfeksi. 
Infeksi virus HIV


 

Tindakan yang harus segera dilakukan setelah seseorang mengalami infeksi virus HIV


Cedera parah sehingga darah terlihat di / pada jarum, atau jarum yang digunakan pada arteri atau vena adalah contoh situasi berisiko tinggi. Risiko penularan juga tergantung pada jumlah partikel virus di dalam darah, jika memiliki viral load yang lebih tinggi maka juga akan menyebabkan peningkatan risiko penularan.

Jika terjadi paparan,maka harus diambil tindakan untuk mengurangi risiko infeksi virus HIV dengan menggunakan obat antiretroviral. Rekomendasi saat ini menyarankan dua atau lebih obat antiretroviral, tergantung pada risiko penularan dan jenis eksposure. Pengobatan  harus dimulai sesegera mungkin, sebaiknya dalam waktu kurang dari satu jam setelah terjadi eksposur dan harus dilanjutkan selama empat minggu, jika ditoleransi. Pengetesan untuk kemungkinan infeksi virus HIV harus dilakukan pada saat cedera, pada enam minggu, 12 minggu, dan enam bulan setelah paparan.

Sangat penting untuk diperhatikan tentang kemungkinan eksposure jika mengalami luka tusuk jarum suntik, hal itu bisa terjadi ketika Anda adalah seorang petugas medis yang menangani pasien dengan HIV.AIDS.

Hal lain yang juga mempunyai potensi terjadinya eksposure yang sangat signifikan adalah ketika seseorang secara bersamaan menggunakan jarum suntik bersama dengan pengidap HIV/AIDS, hal ini sangat mungkin terjadi pada pengguna narkoba dimana mereka lebih sering menggunakan jarum secara spontan tanpa memperhatikan tentang potensi paparan virus, khususnya virus HIV.
Obat harus segera mulai digunakan sejak pertama kali diketahui bahwa seseorang telah mengalami infeksi virus HIV,  jika tidak diketahui apakah seseorang merupakan sumber yang  berpotensi terinfeksi HIV  atau jika antara “iya dan tidak” maka sebaiknya dilakukan pengetesan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Sangat penting diperhatikan juga ketika cairan pengidap HIV baik berupa darah maupun sekresi cairan yang berpotensi menyebabkan infeksi virus HIV memercik ke mata, mulut, atau kulit yang terluka maka harus segera dilakukan pemeriksaan untuk mengantisipasi terhadap kemungkinan terjadinya infeksi.

Eksposur potensial lainnya adalah kontak dengan  cairan vagina dan dubur dalam segala bentuk aktifitas yang terkait dengannya, baik aktifitas seksual maupun aktifitas lainnya, penggunaan jarum suntik secara bersamaan selama penggunaan narkoba juga merupakan penyebab potensial dari kasus infeksi virus HIV. Ada kurang bukti untuk peran antiretroviral pasca pajanan profilaksis setelah eksposur tersebut. Perlu diingat, karena status HIV dari pasangan seks atau pengguna narkoba biasanya tidak diketahui, maka jika seseorang melakukan aktifitas tersebut bersama dengan orang yang sering melakukan hubungan seks tidak aman sebaiknya harus melakukan pemeriksaan, atau tidak melakukan hubungan seks sama sekali dengan orang yang memiliki resiko tinggi terhadap kemungkinan infeksi Virus HIV/ AIDS

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AIDS merekomendasikan pengobatan untuk orang yang terinfeksi  melalui hubungan seks atau penggunaan narkoba. Jika status HIV dari sumber tidak diketahui, keputusan untuk mengobati adalah bersifat  individual. Orang yang bersangkutan harus menemui Dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan saran. Jika Dokter memberikan  keputusan untuk dilakukan pengobatan, maka penggunaan obat harus dimulai dalam waktu 72 jam sejak eksposur.

Untuk setiap eksposur, terutama eksposur dengan darah, penting untuk dilakukan pengujian terhadap  penyakit darah lainnya seperti hepatitis B atau C, yang umum terjadi di antara pasien yang mengalami infeksi HIV. Untuk eksposur seksual, pengujian untuk sifilis, gonore, klamidia, dan penyakit seksual menular lainnya (PMS) harus dilakukan,  karena orang dengan HIV lebih mungkin untuk memiliki PMS lainnya. Pasien juga harus diberi konseling tentang bagaimana mencegah eksposure pada waktu yang akan datang.

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama