Ada ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabihat (mengandung kesamaran makna), tidak dapat difahami secara tekstual, jika difahami secara tekstual, maka akan terjerumus kepada tasybih (penyerupaan Allah Swt dengan makhluk) dan tajsim (penjasmanian wujud Allah Swt). Misalnya ayat:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى


“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy”. (Qs. Thaha [20]: 5).

Jika kita memahami ayat ini secara tekstual, maka kita akan menyamakan Allah Swt dengan seorang manusia yang duduk di atas kursi. Maha Suci Allah Swt dari sifat seperti itu, karena Allah Swt itu:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِياُ الْبَصِيرُ


“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat”. (Qs. Asy-Syura [42]: 11).

Maka dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang semakna dengan ini, para ulama sejak zaman para shahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in, hingga sampai saat ini memahami ayat-ayat mutasyabihat dengan dua metode:

  • Metode Pertama: Tafwidh (Menyerahkan maknanya kepada Allah Swt).


Hadits Pertama

Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah:

عَ ن عائِشَةَ قَالَتْ تَلَا رَسُولُ الل صَلَّى الل عَلَيْهِ وَسَلَّمَ } هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتاَبَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتاَبِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأمََّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا ت شَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْعِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأوِْيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تأَوِْيلَهُ إِلَّا الل وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَب نَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ { قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللََّّ صَلَّى الل عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الَّذِينَ يَتبَِّعُونَ مَا تشََابَهَ مِنْهُ فَأوُلَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى الل فَاحْذَرُوهُمْ


Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw membacakan ayat: “Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 7). Rasulullah Saw bersabda, “Apabila kamu melihat orang-orang yang memperturutkan (membahas) ayat-ayat mutasyabihat, maka mereka itulah yang disebut Allah (orang yang sesat), maka jauhilah mereka”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Hadits Kedua:

عن أبي مالك الأشعري أنه سما رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : لا أخاف على أمتي إلا ثلاث خلال أن يكثر لهم من المال فيتحاسدون فيقتتلوا وأن يعتح لهم الكتب يأخذ الميمن يبتغي تأويله وليس يعلم تأويله إلا الله


Dari Abu Malik al-Asy’ari, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Tidak aku khawatirkan terhadap ummatku kecuali tiga kerusakan: harta mereka menjadi banyak, lalu mereka saling dengki. Kemdian mereka saling membunuh. Dan dibukakan bagi mereka kitab-kitab, seorang mu’min mencari takwilnya, tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah Swt”. (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).

Pendapat Imam Malik bin Anas (w.179H).

قال الإمام مالك رحمه الله، لما سئل عن قوله تعالى: }ثُمَّ اسْتوََى عَلَى الْعَرْشِ{) 6( كيف استوى ؟ فقال: الاستواء معلوم والكيف مجهول. ويروى هذا الجواب عن أم سلمة رضي الله عنها موقوفا ومرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم.


Imam Malik berkata ketika ditanya tentang firman Allah Swt, “Kemudian Allah Swt bersemayam di atas ‘Arsy”, bagaimanakah Allah Swt bersemayam?”. Imam Malik menjawab, “Makna kata bersemayam, semua orang mengetahuinya. Bagaimana Allah Swt bersemayam, tidak ada yang mengetahuinya”. Jawaban yang sama juga diriwayatkan dari Ummu Salamah (ketika ia ditanya tentang ayat ini), secara mauquf dan marfu’ kepada Rasulullah Saw.

Pendapat Imam at-Tirmidzi (w.279H):

وَنُزُولِ الرَّ بِ تَبَارَكَ وَتعََالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالُوا قَدْ تَثْبُتُ ال روَايَاتُ فِي ه ذَا وَيُيْمَنُ بِهَا وَلَا يُتَوَهَّمُ وَلَا يُقَالُ كَيْفَ هَكَذَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ وَسُعْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللََّّ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلَا كَيْفٍ وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَة


Tentang turunnya Allah Swt setiap malam ke langit dunia, mereka (para ulama) berkata bahwa riwayat-riwayat tentang ini shahih dan kuat. Riwayat-riwayat itu diimani, tidak diimajinasikan, tidak pula dikatakan kaifa (bagaimana model atau bentuknya?). Demikian diriwayatkan dari Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah dan Abdullah bin al-Mubarak. Mereka katakan tentang hadits-hadits seperti ini, “Berlakukanlah hadits-hadits itu tanpa kaif (seperti apa?)”. Demikianlah pendapat ulama dari kalangan Ahlussunnah waljama’ah

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِ ي صَلَّى الل عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رِوَايَاتٌ كَثِيرَةٌ مِثْلُ هَذَا مَا يُذْكَرُ فِيهِ أَمْرُ الرُّؤْيَةِ أَنَّ النَّاسَ يَرَوْنَ رَبَّهُمْ وَذِكْرُ الْقَدَمِ وَمَا أَشْبَهَ هَذِهِ الْأشَْيَاءَ وَالْمَذْهَبُ فِي هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ الْأئَِمَّةِ مِثْلِ سُعْيَانَ الثَّوْرِ ي وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَابْنِ عُيَيْنَة وَوَكِياٍ وَغَيْرِهِمْ أنََّهُمْ رَوَوْا هَذِهِ الْأشَْيَاءَ ثمَُّ قَالُوا ترُْوَى هَذِهِ الْأحََادِيثُ وَنُيْمِنُ بِهَا وَلَا يُق الُ كَيْفَ وَهَذَا الَّذِي اخْتاَرَهُ أَهْلُ الْحَدِيثِ أَنْ ترُْوَى هَذِهِ الْأَشْيَاءُ كَمَا جَاءَتْ وَيُيْمَنُ بِهَا وَلَا تُعَسَّرُ وَلَا تتُوََهَّمُ وَلَا يُقَالُ كَيْفَ وَهَذ ا أَمْرُ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِي اخْتاَرُوهُ وَذَهَبُوا إِلَيْه


Diriwayatkan dari Rasulullah Saw banyak riwayat seperti ini (mutasyabihat), di dalamnya disebutkan tentang ru’yah (melihat), bahwa manusia melihat Rabb mereka, tentang kaki dan seperti itu. Mazhab ulama tentang masalah ini dari para imam seperti Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Malik bin Anas, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ibnu ‘Uyainah, Imam Waki’ dan para imam lainnya, bahwa mereka meriwayatkan hadits-hadits seperti ini, kemudian mereka berkata, “Hadits-hadits seperti ini diriwayatkan, kita mengimaninya, tidak dikatakan ‘bagaimana?”. Inilah pendapat yang dipilih para ahli hadits, bahwa hadits-hadits seperti ini diriwayatkan seperti apa adanya, diimani, tidak dijelaskan, tidak pula dibayang-bayangkan, tidak dikatakan ‘bagaimana?’. Inilah pendapat para ulama yang mereka pilih dan mereka pegang.

Pendapat Imam Ibnu ash-Sholah (w.643H).

وقال الإمام ابن الصلاح وعلى هذه الطريقة مضى صدر الأمة وساداتها وإياها اختار أئمة العقهاء وقاداتها وإليها دعا أئمة الحديث وأعلامه ولا أحد من المتكلمين من أصحابنا يصدف عنها ويأباها انتهى


Imam Ibnu ash-Sholah berkata, “Berdasarkan metode ini (tafwidh: menyerahkan maknanya kepada Allah Swt), para ulama dan pembesar ummat Islam. Pendapat ini pula yang dipilih oleh para imam ahli Fiqh. Kepada pendapat ini pula seruan para imam ahli hadits dan para tokohnya. Tidak seorang pun dari ahli Ilmu Kalam yang memalingkan diri darinya dan menolaknya. Selesai.

Pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w.852H).

ومنهم من اجراه على ما ورد ميمنا به على طريق الإجمال منزها الله تعالى عن الكيعيه والتشبيه وهم جمهور السلف


Sebagian ulama membiarkan teks-teks tersebut sebagaimana apa adanya, mengimaninya dengan cara global, mensucikan Allah Swt dari kaif (cara) dan mensucikan Allah Swt dari tasybih (penyamaan dengan makhluk), mereka adalah mayoritas kalangan Salaf.

  • Metode Kedua: Ta’wil.


Penjelasan makna Ta’wil disebutkan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani,

ومنهم من أوله على وجه يليق مستعمل في كلام العرب


Ada diantara mereka yang menta’wilkannya ke pendapat layak yang digunakan dalam bahasa Arab.

Contoh-Contoh Ta’wil:


Ta’wil Abdullah bin Abbas.


Ayat Mutasyabihat:

فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ هَذَا


“Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini”. (Qs. Al-A’raf [7]: 51).

Ayat ini tidak dapat difahami secara tekstual, karena tidak mungkin Allah Swt memiliki sifat lupa. Sementara dalam ayat lain disebutkan,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا


“Dan tidaklah Tuhanmu lupa”. (Qs. Maryam [19]: 64).

Maka untuk menjelaskan ini, Abdullah bin Abbas melakukan ta’wil terhadap ayat mutasyabihat ini:

Ta’wil Pertama:

عن ابن عباس:"فاليوم ننساهم كما نسوا لقاء يومهم هذا" ، قال: نتركهم من الرحمة، كما تركوا أن يعملوا للقاء يومهم هذا.


Dari Ibnu Abbas, ayat, “Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini”. Ibnu Abbas berkata, (maknanya), “Kami tinggalkan mereka dari rahmat, sebagaimana mereka meninggalkan amal untuk pertemuan pada hari ini”.

Ta’wil Kedua:

نسيهم الله من الخير، ولم ينسهم من الش ر.


Allah Swt melupakan mereka dari kebaikan, tapi tidak melupakan mereka dari kejahatan1

Ayat Mutasyabihat:

يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتطَِيعُونَ


“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa”. (Qs. Al-Qalam [68]: 42).

Ayat ini tidak dapat difahami secara tekstual, bagaimana mungkin betis Allah Swt disingkapkan, lalu manusia diperintahkan untuk sujud.

Maka Abdullah bin Abbas menta’wilkan ayat Mutasyabihat ini:

عن ابن عباس، قوله:) يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ ( هو الأمر الشديد المعظا من الهول يوم القيامة.


Dari Ibnu Abbas, firman Allah Swt, “Pada hari betis disingkapkan”, adalah: perkara yang berat dan sangat keras karena ketakutan huru-hara pada hari kiamat.

Ayat Mutasyabihat:

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأيَْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ


Secara tekstual, terjemah ayat ini adalah, “Dan langit itu Kami bangun dengan tangan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”. (Qs. adz-Dzariyat [51]: 47).

عن ابن عباس، قوله) وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأيَْدٍ ( يقول: بقوة.


Ibnu Abbas menta’wilkan ayat mutasyabihat ini, “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan (kami)”117. Kata ‘tangan’ dita’wilkan dengan kata ‘kekuatan’.

Ta’wil Imam Mujahid:

Allah Swt berfirman,

فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ هَذَا


“Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini”. (Qs. Al-A’raf [7]: 51).

Imam Mujahid menta’wilkan ayat mutasyabihat ini dengan beberapa ta’wil:

Ta’wil Pertama:

نتركهم كما تركوا لقاء يومهم هذا.


“Kami tinggalkan mereka sebagaimana mereka telah meningalkan pertemuan mereka hari ini”.

Ta’wil Kedua:

نتركهم في النار


“Kami tinggalkan mereka di dalam api neraka”.

Ta’wil Ketiga:

نيخرهم في النار.


“Kami akhirkan mereka dalam api neraka”.

Ta’wil Imam Malik bin Anas (w.179H).


Hadits Mutasyabihat:

[إن الله ينزل في الليل إلى سماء الدنيا ]


“Sesungguhnya Allah turun pada waktu malam ke langit dunia”.

Imam Malik bin Anas menta’wilkan hadits mutasyabihat ini:

وقد روى محمد بن علي الجبلي وكان من ثقات المسلمين بالقيروان قال حدثنا جاما بن سوادة بمصر قال حدثنا مطرف عن مالك بن أنس أنه سئل عن الحديث "إن الله ينزل في الليل إلى سماء الدنيا" فقال مالك يتنزل أمره


Muhammad bin Ali al-Bajalli, salah seorang perawi tsiqah (terpercaya) dari kaum muslimin di al-Qairawan, ia berkata, “Jami’ bin Sawadah menceritakan kepada kami di Mesir, ia berkata, ‘Mutharrif menceritakan kepada kami’, dari Malik bin Anas, ia ditanya tentang hadits, “Sesungguhnya Allah Swt turun pada waktu malam ke langit dunia”. Imam Malik bin Anas menjawab, “Perkaranya turun”.

Kalimat ‘Allah turun’ dita’wilkan Imam Malik dengan kalimat, ‘Perkara-Nya turun’.

Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal (w.241H):


Ayat Mutasyabihat:

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَعًّا صَعاًّ


“Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris”. (Qs. Al-Fajr [89]: 22).

Imam Ahmad bin Hanbal menta’wilkan ayat mutasyabihat ini:

وروى البيهقي عن الحاكم عن أبي عمرو بن السماك عن حنبل أن أحمد بن حنبل تأول قول الله تعالى: )وجاء ربك( ]العجر: 22 [ أنه جاء ثوابه. ثم قال البيهقي: وهذا إسناد لا غبار عليه.


Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Hakim, dari Abu ‘Amr bin as-Simak, dari Hanbal, sesungguhnya Imam Ahmad bin Hanbal menta’wilkan ayat, “Dan datanglah Tuhanmu”: “Dan datanglah balasan pahala-Nya”.
Kemudian Imam al-Baihaqi berkata, “Sanad ini tidak ada debu di atasnya” (ungkapan penerimaan terhadap suatu riwayat)120.

Ta’wil Imam al-Bukhari (w.256H).


Ayat Mutasyabihat:

} كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ { إِلَّا مُلْكَه


Secara tekstual, terjemah ayat ini adalah, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah”. (Qs. Al-Qashash [28]: 88).

Imam al-Bukhari mena’wilkan kata وَجْهَه (wajah Allah Swt) kepada kata مُلْكَه artinya, kekuasaan Allah Swt121.

Hadits Mutasyabihat:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ الل عَنْهُ أَنَّ رَجُلا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى الل عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَبَعَثَ إِ لَى نِسَائِهِ ، فَقُلْنَ : مَا عِنْدَنَا إِلاَّ الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الل عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَ نْ يُضِيفُ هَذَا ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأنَْصَارِ : أنََا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ ، فَقَالَ : أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الل عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : مَا عِنْدَنَا إِلاَّ قُوتُ ال صبْيَانِ فَقَالَ : هَي ئِي طَعَامَ كِ ، وَ أصَْلِحِي سِرَاجَكِ ، وَنَ وِمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا الْعَشَاءَ فَهَيَّأتَْ طَعَامَهَا ، وَأَصْلَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ، ثُمَّ قَامَتْ كَأنََّهَ ا تصَْلُحُ سِرَاجَهَا فَأطَْعَأتَْهُ ، وَجَعَلا يُرِيَانِهِ كَأنََّهُمَا يَأكُْلانِ ، فَبَاتاَ طَاوِيَيْنِ ، فَلَمَّا أصَْبَحَ غَدَا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى الل عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : لَقَدْ ضَحِ كَ الل اللَّيْلَةَ ، أَوْ عَجِبَ ، مِنْ فَعَالِكُمَا وَأَنْزَلَ الل عَزَّ وَجَلَّ : }وَيُيْثِرُونَ عَلَى أَنْعُسِهِمْ وَ لَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ{.
روَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي "الصَّحِيحِ" ، عَنْ مُسَدَّدٍ. وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ أَبِي أسَُامَةَ ، عَنْ فُضَيْلٍ. وَأَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ مِنْ أَوْجُهٍ أُخَرَ ، عَنْ فُضَيْلٍ وَقَالَ بَعْضُهُمْ فِي الْحَدِيثِ عَجِبَ وَلَمْ يَذْكُرِ الضَّحِكَ قَالَ الْبُخَارِيُّ : مَعْنَى الضَّحِكِ الرَّحْمَةُ.


Dari Abu Hurairah, sesungguhnya seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw mengutus kepada istrinya. Istrinya menjawab, “Kami tidak memiliki apa-apa melainkan air”. Rasulullah Saw bertanya, “Siapakah yang mau menerima tamu ini?”. Seorang laki-laki dari Anshar berkata, “Saya bersedia”. Lalu ia pergi bersama tamu itu. Ia katakan kepada tamunya, “Muliakanlah tamu Rasulullah Saw”. Istrinya menjawab, “Kita tidak memiliki apa-apa, hanya makanan anak-anak”. Ia berkata, “Siapkanlah makanan, perbaiki lampu, tidurkanlah anak-anak, jika mereka ingin makan malam”. Lalu perempuan itu pun menyiapkan makanan, memperbaiki lampu dan menidurkan anak-anak. Kemudian perempuan itu berdiri, seakan-akan ia memperbaiki lampu, lalu ia memadamkannya. Mereka berdua (suami-istri) memperlihatkan seakan-akan mereka sedang makan. Mereka berdua tidur malam itu dalam keadaan lapar (karena tidak makan). Ketika pada pagi harinya, suami istri itu datang menghadap Rasulullah Saw. Rasulullah Saw berkata, “Allah telah tertawa tadi malam”, atau “Telah kagum”, terhadap perbuatan kamu berdua. Allah Swt menurunkan ayat: “dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan”. (Qs. Al-Hasyr [59]: 9).

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Musaddad. Juga disebutkan Imam al-Bukhari dari riwayat Abu Usamah dari Fudhail. Diriwayatkan Imam Muslim dari beberapa jalur periwayatan lain, dari Fudhail. Sebagian mereka berkata dalam hadits, “Telah kagum”. Tidak menyebutkan kata, “Tertawa”.

Ta’wil Imam al-Bukhari:

Imam al-Bukhari berkata, “Makna kata: ِ ك ِ ح َّضلا (tertawa) dalam hadits ini adalah: ( الرَّحْمَة ) kasih sayang”122. Imam al-Bukhari menta’wilkan kalimat, “Allah telah tertawa tadi malam”, kepada kalimat, “Allah telah memberikan rahmat-Nya tadi malam”. Karena kalimat pertama tidak layak bagi Allah Swt, khawatir akan terjerumus kepada perbuatan tasybih (meyerupakan Allah Swt dengan makhluk).

Ta’wil Imam Ibnu Taimiah:

وقوله ولله المشرب والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله وهذا قد قال فيه طائعة من السلف فثم قبلة الله

Firman Allah Swt, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah” (Qs. Al-Baqarah [2]: 115).

Sekelompok Salaf mengatakan bahwa makna وجه الله adalah قبلة الله (kiblat Allah Swt)123.

Ta’wil al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:

وصعه بالعلو من جهة المعنى والمستحيل كون ذلك من جهة الحس


Allah Swt disifati dengan sifat tinggi, menurut arah, secara maknawi. Mustahil bagi Allah Swt disifati dengan sifat tinggi secara fisik.

Jika demikian, maka cara memahami ayat-ayat mutasyabihat yang dicontohkan sejak zaman Salafusshalih adalah: metode tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah Swt) dan metode ta’wil (pendekatan makna bahasa).

Contoh Penerapan Metode Tafwidh dan Ta’wil Memahami Ayat Mutasyabihat.

Ayat Mutasyabihat:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَ ى


“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy”. (Qs. Thaha [20]: 5).

Jika dua metode di atas digunakan memahami ayat ini:

Pertama, Metode Tafwidh: maka serahkanlah hakikat maknanya kepada Allah Swt.
Kedua, Metode Ta’wil: memahami dengan pendekatan makna bahasa Arab.

Orang Arab bersyair:

قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق


Terjemah Tekstual:

Bisyr telah bersemayam di atas Iraq, tanpa pedang dan darah yang tertumpah.

Namun ada kata lain yang mendekati makna kata استوى (bersemayam), seperti kata:

قهر (menguasai/menaklukkan), kata دبر (mengatur) dan kata حكم (memimpin).

Terjemah Ta’wil:


Bisyr telah menaklukkan, menguasai dan mengatur Irak, tanpa darah yang tertumpah.
Jika metode pendekatan makna bahasa ini digunakan, maka makna ayat di atas adalah:

الرحمن استولى على عرش العالم وحكم العالم بقدرته ودبر بمشيئته


Allah Swt Yang Maha Pengasih menguasai singgasana alam semesta, memimpin alam semesta dan mengatur dengan kehendak-Nya.

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:

واما تعسير استوى علا فهو صحيح وهو المذهب الحق وقول أهل السنة لأن الله سبحانه وصف نعسه بالعلي وقال سبحانه وتعالى عما يشركون وهي صعة من صعات الذات


Adapun kata استوى (bersemayam) diartikan sebagai علا (tinggi), maka benar. Inilah mazhab yang benar dan pendapat Ahlussunnah, karena sesungguhnya Allah Swt mensifati diri-Nya dengan kata العلي (Maha Tinggi) dan firman-Nya, “Maha Tinggi Allah Swt dari apa yang mereka persekutukan”. Ini adalah salah satu dari sifat dzat.

‘Allah Bersemayam di Atas ‘Arsy’ Menurut al-Qur’an:

Mereka yang mengatakan bahwa Allah Swt bersemayam di atas ‘Arsy berdalil dengan ayat:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى


“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy”. (Qs. Thaha [20]: 5).

Sementara ada ayat-ayat lain yang menyebutkan:

وَقَالَ إِن ي ذَاهِبٌ إِلَى رَب ي سَيَهْدِينِ


“Dan Ibrahim berkata:"Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (Qs. Ash-Shaffat [37]: 99).

وَقَالَ إِن ي مُهَاجِرٌ إِلَى رَب ي


“Sesungguhnya aku akan berpindah ke tempat Tuhanku”. (Qs. Al-‘Ankabut [29]: 26).

Menurut ayat ini Allah tidak di ‘Arsy, tapi di Palestina (Syam).
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan,

فعسر أهل التأويل ذلك أن معناه: إني مهاجر إلى أرض الشام


Ahli ta’wil menafsirkan ayat ini dengan makna, “Sesungguhnya aku pindah ke negeri Syam”.
Ayat-ayat lain menyebutkan pernyataan yang berbeda:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتمُْ


“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada”. (Qs. Al-Hadid [57]: 4).

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ


“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. (Qs. Qaf [50]: 16).

Dari beberapa ayat di atas jelaslah bahwa yang dimaksud bukanlah makna tekstual.

Ayat-Ayat Mengandung Makna: ‘di Atas’, Dijelaskan Ayat Lain:

وَهُوَ الْقَاهِ رُ فَوْقَ عِبَادِه


“Dan Dialah yang berkuasa di atas sekalian hamba-hamba-Nya”. (Qs. Al-An’am [6]: 18 dan 61).

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ


“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka”. (Qs. An-Nahl [16]: 50).

Perbandingan ayat-ayat seperti ini adalah ayat tentang Allah Swt menceritakan ucapan Fir’aun:

وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ


“dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka."”. (Qs. Al-A’raf [7]: 127).

Bukan berarti Fir’aun dan bangsa Mesir di atas, lalu orang-orang Israel di bawah. Tapi maknanya adalah, “Kita lebih mulia, lebih berkuasa”.

Ketika Allah Swt mengatakan kepada Nabi Musa as:

لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعْلَى


“Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling paling tinggi”. (Qs. Thaha [20]: 68).

Bukan berarti nabi Musa berada di tempat yang tinggi, di atas. Tapi maknanya adalah bahwa Nabi Musa akan menang mengalahkan tukang sihir Fir’un.
Orang yang mengatakan Allah Swt di atas, menyamakan-Nya dengan makhluk. Orang seperti itu sama seperti ucapan Fir’aun:

وَ قَالَ فِرْعَوْنُ يَا أيَُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأوَْقِدْ لِي يَا هَامَانُ عَلَى ال طينِ ف اجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِ ي أَطَّلِاُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِن ي لَأظَُنُّه مِنَ الْكَاذِبِينَ


“Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”. (Qs. Al-Qashash [28]: 38).

Fir’aun minta dibuatkan bangunan yang tinggi, karena ia meyakini Tuhan Nabi Musa itu di atas, ia ingin melihatnya langsung. Ternyata Fir’aun itu sangat tekstualis. Allah Swt membantah dan mengeca keyakinan Fir’aun itu:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِ ي أبَْلُغُ الْأَسْبَابَ ) 36 ( أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِاَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِن ي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُي نَ لِعِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَ ا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تبََاب


“Dan berkatalah Fir'aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta." Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian". (Qs. Ghafir [40]: 37).

Ketika ayat di atas difahami bahwa Allah Swt duduk di atas ‘Arsy. Maka telah terjerumus kepada perbuatan tasybih (menyamakan Allah Swt dengan makhluk) dan tajsim (penjasmanian wujud Allah Swt). Subhanallah, Maha Suci Allah dari yang disifati manusia, karena Allah Swt itu:

لَيْسَ كَمِثلِْهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِياُ الْبَصِيرُ


“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (Qs. Asy-Syura [42]: 11).

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُعُوًا أَحَد


“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (Qs. Al-Ikhlas [112]: 4).

‘Allah di Langit’ Menurut Hadits:
Mereka yang mengatakan bahwa Allah Swt di langit berdalil dengan hadits:

فَقَالَ لَهَا أيَْنَ الل قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أنََا قَالَتْ أنَْتَ رَسُولُ الل قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِن هَا مُيْمِنَة


Rasulullah Saw bertanya kepada seorang hamba sahaya perempuan, “Di manakah Allah?”. Ia menjawab, “Di langit”. Rasulullah Saw bertanya lagi, “Siapakah aku”. Hamba itu menjawab, “Engkau adalah utusan Allah”. Rasulullah Saw berkata, “Merdekakanlah ia, sesungguhnya ia seorang beriman”. (HR. Muslim).

Hadits ini tidak dapat difahami secara tekstual, ada beberapa hal yang perlu difahami:

Pertama, hadits ini terdiri dari beberapa versi.

Hadits ini tidak satu versi, ada beberapa riwayat lain dengan redaksi berbeda:
Versi Kedua:

فَقَالَ لَهَا رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم : أتشهدين أَن لَا إِلَه إِلَّا الله ؟ قَالَت : نعم .


Rasulullah Saw bertanya kepada hamba sahaya perempuan itu, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?”. Hamba sahaya perempuan itu menjawab, “Ya”.

Versi Ketiga:

فَقَالَ : من رَبك ؟ قَالَت : الله .


Rasulullah Saw bertanya kepada hamba sahaya perempuan itu, “Siapakah Rabb-mu?”. Hamba sahaya perempuan itu menjawab, “Allah”.

Karena terdiri dari beberapa versi, maka tidak dapat berpegang hanya pada satu versi saja dan menafikan versi lain. Riwayat model seperti ini disebut dengan istilah mudhtharib (simpang siur).
Jika satu versi mengandung makna muhkamat, versi lain mengandung makna mutasyabihat, maka yang dipegang adalah riwayat muhkamat yang mengandung kepastian.

Kedua, ta’wil: yang ditanya bukan tempat, tapi kedudukan Allah.

Mayoritas ulama menta’wilkan hadits ini, karena khawatir terjerumus ke dalam tasybih (meyerupakan Allah Swt dengan makhluk).
Pendapat Imam Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Faurak al-Ashbahani (w.406H):

إن معنى قوله صلى الله عليه وسلم أين الله استعلام لمنزلته وقدره عندها وفي قلبها


Sesungguhnya makna pertanyaan Rasulullah Saw, “Di manakah Allah?”. Itu adalah pertanyaan tentang kedudukan dan kekuasaan Allah Swt menurut hamba sahaya perempuan itu.

Yang ditanyakan adalah kedudukan dan kekuasaan Allah Swt, bukan tempat Allah Swt.

Pendapat Imam al-Baji:

وَقَوْلُهُ : لِلْجَارِيَةِ أَيْنَ الل ؟ فَقَالَتْ : فِي السَّمَاءِ لَعَلَّهَا ترُِيدُ وَصْعَهُ بِالْعُلُ وِ وَ بِذَلِكَ يُوصَفُ كُلُّ مَنْ شَأْنُهُ الْعُلُوُّ فَيُقَالُ مَكَانُ فُلَانِ فِي السَّمَاءِ بِمَعْنَى عُلُ وِ حَالِهِ وَرِفْعَتِهِ وَشَرَفِهِ


Ucapan Rasulullah Saw kepada hamba sahaya perempuan, “Di manakah Allah?”. Hamba itu menjawab, “Di langit”. Yang ia maksudkan adalah sifat agung. Oleh sebab itu semua yang agung selalu disebut, “Tempat si anu di langit”, maksudnya adalah: ia agung, tinggi dan mulia.

Imam an-Nawawi mengutip pendapat al-Qadhi ‘Iyadh:

قال القاضي عياض لا خلاف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقلدهم أن الظواهر الواردة بذكر الله تعالى في السماء كقوله تعالى أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض ونحوه ليست على ظاهرها بل متأولة عند جميعهم


Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara seluruh kaum muslimin; para ahli Fiqh, ahli Hadits dan ahli Ilmu Kalam. Para imam yang ahli dan yang bertaqlid, bahwa makna zahir (teks) yang menyebutkan Allah Swt di langit seperti firman Allah Swt, “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu”. (Qs. Al-Mulk [67]: 16). dan teks lainnya tidak difahami secara zahir teks, akan tetapi dita’wilkan, demikian menurut mereka secara keseluruhan129.

Pendapat Imam as-Suyuthi (w.911H):

فقال لها أين الله قالت في السماء هو من أحاديث الصعات يعوض معناه ولا يخاض فيه ما التنزيه أو ييول بأن المراد امتحانها هل هي موحدة تقر بأن الخالق المدبر هو الله وحده وهو الذي إذا دعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى له يستقبل الكعبة وليس ذلك لأنه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة بل ذلك لأن السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين أم هي من الذين يعبدون الأوثان التي بين أيديهم


Rasulullah Saw bertanya kepada hamba sahaya perempuan, “Di manakah Allah?”. Ia menjawab, “Di langit”. Ini termasuk hadits sifat-sifat Allah Swt yang maknanya diserahkan kepada Allah Swt, tidak terjerumus membahasnya, dengan tetap menjaga kesucian Allah Swt. Atau dita’wilkan, bahwa maksudnya adalah ujian terhadap hamba sahaya perempuan itu, apakah ia bertauhid; mengakui bahwa Pencipta dan Pengatur adalah Allah saja, yang ketika diseru oleh orang yang berseru ia menghadap ke langit, sebagaimana ketika shalat menghadap ke Ka’bah. Bukanlah maknanya bahwa Allah Swt terbatas di langit, Allah Swt juga tidak terbatas di arah Ka’bah. Akan tetapi itu dilakukan karena langit adalah arah kiblat bagi orang yang berdoa sebagaimana Ka’bah sebagai kiblat bagi orang yang shalat. Apakah perempuan itu termasuk orang-orang yang menyembah berhala-berhala di depan mereka?”130.

  • Ketiga, ada hadits lain yang lebih shahih dengan pernyataan berbeda:


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الل عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأىَ نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُئِيَ مِنْهُ كَرَاهِ يَةٌ أَوْ رُئِيَ كَرَاهِيَتُهُ لِذَلِكَ وَشِدَّتُهُ عَلَيْهِ وَقَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَا تِهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ رَبُّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلَا يَبْزُقَنَّ فِي قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ ي سَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِه


Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasulullah Saw melihat dahak (kering) di arah kiblat, maka Rasulullah Saw mengoreknya dengan tangannya. Terlihat darinya sikap tidak suka. Atau, terlihat ketidaksukaan Rasulullah Saw terhadap itu. Rasulullah Saw berkata, “Sesungguhnya salah seorang kamu apabila ia berdiri ketika shalat, sesunggunya ia bermunajat dengan Tuhannya”. Atau, “Tuhannya diantara ia dan kiblatnya. Maka janganlah ia meludah pada kiblatnya. Akan tetapi ke kiri atau ke bawah kaki” (HR. al-Bukhari).

عَنْ وَكِياِ بْنِ حُدُسٍ عَنْ عَ م هِ أَبِي رَزِينٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ الل أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ قَالَ كَانَ فِي عَمَاءٍ مَا تحَْتَهُهَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِياٍ قَالَ يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ الْعَمَاءُ أيَْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ الترمذي حسن


Dari Waki’ bin Hudus, dari Pamannya bernama Abu Razin, ia berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum Ia menciptakan makhluk?”. Rasulullah Saw menjawab “Tidak ada sesuatu pun bersama-Nya. Di bawahnya tidak ada angin. Di atasnya tidak ada angin. Kemudian Ia menciptakan ‘Arsy-Nya di atas air”. Ahmad bin Muni’ berkata, “Yazid bin Harun berkata, makna kata al-‘Ama’ adalah: tidak ada sesuatu pun bersama-Nya”. (HR. at-Tirmidzi).

وقد قال امير الميمنين على رضي الله عنه ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته لا مكانا لذاته وقال ايضا قد كان ولا مكان وهو الآن على ما كان


Amirul Mu’minin Ali ra berkata, “Sesungguhnya Allah Swt menciptakan ‘Arsy untuk menunjukkan kuasa-Nya, bukan sebagai tempat bagi dzat-Nya”. Imam Ali juga berkata, “Allah Swt telah ada sebelum tempat itu ada, dan Ia sekarang sama seperti sebelumnya”.

  • Keempat, hadits ini adala hadits Ahad. Sedangkan hadits Ahad itu hanya dapat menetapkan amal, tidak dapat menetapkan pengetahuan yang pasti, karena ia bersifat zhanni.


Pendapat Imam Ibn ‘Abdilbarr.

واختلف اصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل هل يوجب العلم والعمل جميعا أم يوجب العمل دون العلم والذي عليه أكثر أهل العلم منهم أنه يوجب العمل دون العلم وهو قول الشافعي وجمهور أهل العقه والنظر ولا يوجب العلم عندهم


Para ulama Mazhab Maliki dan ulama lain berbeda pendapat tentang khabar Ahad yang diriwayatkan seorang perawi yang ‘adil, apakah mewajibkan kepastian ilmu dan diamalkan, atau hanya sekedar mewajibkan amal tanpa memberikan kepastian ilmu. Pendapat yang dipegang mayoritas ulama adalah bahwa khabar Ahad itu hanya mewajibkan amal, tidak memberikan kepastian ilmu. Demikian menurut pendapat Imam asy-Syafi’i, mayoritas ahli Fiqh dan Ilmu Kalam, menurut mereka hadits Ahad itu tidak memberikan kepastian ilmu.

Imam al-Bukhari membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya,

بَاب مَا جَاءَ فِي إِجَازَةِ خَبَرِ الْوَاحِدِ الصَّدُوقِ فِي الْأَذَانِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْعَرَائِضِ وَالْأَحْكَامِ


Bab: Riwayat-riwayat tentang bolehnya khabar Ahad yang diriwayatkan seorang perawi yang terpercaya dalam masalah azan, shalat, puasa, kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani memberikan komentar dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, menukil pendapat Imam al-Kirmani,

قال الكرماني ليعلم أنما هو في العمليات لا في الاعتقاديات


Al-Kirmani berkata, “Mesti dimaklumi bahwa khabar Ahad itu hanya pada perkara yang bersifat ‘amaliyyat (amal/perbuatan), bukan pada perkara-perkara yang bersifat i’tiqadiyyat (keyakinan).

Pendapat Imam Ibnu Taimiah.

Ketika membahas tentang Imam Mahdi, dinyatakan pertanyaan tentang hadits Ahad, Imam Ibnu Taimiah menjawab,

إن هذا من أخبار الاحاد فكيف يثبت به أصل الدين الذي لا يصح الإيمان إلا به


Sesungguhnya ini salah satu dari khabar Ahad, bagaimana mungkin dasar agama ditetapkan berdasarkan khabar Ahad, padahal dasar agama itu adalah suatu perkara yang keimanan tidah sah kecuali dengan keberadaannya.

‘Allah di Langit’ Berdasarkan Ijma’ Salaf.

Jika ada yang mengatakan bahwa Allah di langit berdasarkan Ijma’. Maka Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menyebutkan dalam kitab al-Farq Bain al-Firaq:

واجمعوا على انه لا يحويه مكان ولا يجرى عليه زمان


Para ulama telah Ijma’ bahwa Allah Swt itu tidak dapat dibatasi oleh tempat dan tidak berlalu bagi-Nya zaman (masa).

‘Allah Bersemayam di Atas ‘Arsy’ Menurut Akal Sehat:
Jika dikatakan Allah Swt bersemayam di atas ‘Arsy. Berarti ada yang di atas, ada yang di bawah, maka otomatis menetapkan suatu tempat bagi Allah Swt.
Jika dikatakan Allah Swt duduk di atas ‘Arsy. Berarti ada yang lebih besar, atau lebih kecil, atau sama. Bagaimanakah perbandingan antara Allah Swt dan ‘Arsy?! Subhanallah, Allah Maha Suci dari sifat-sifat seperti itu.
‘Arsy itu diciptakan, berarti memiliki awal dan akhir. Lalu sebelum ‘Arsy itu ada, di manakah Allah?
Tidak Boleh Menyerupakan Allah Swt Dengan Makhluk.

Imam ath-Thahawi berkata,

وتعالى عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات


Allah Swt Maha Suci dari batasan, tujuan akhir, sudut, anggota tubuh dan peralatan. Allah Swt tidak diliputi arah yang enam (kiri, kanan, depan, belakang, atas dan bawah).

Menyerupakan Allah Swt Dengan Makhluk Adalah Kafir.
Imam an-Nawawi berkata,

فممن يكعر من يجسم تجسيما صريحا


Maka diantara orang yang dikafirkan adalah orang yang menyatakan Allah Swt memiliki tubuh secara nyata (menyerupakan dengan makhluk).

Arahan dan Peringatan:


Syekh Muhammad Abdul’Azhim az-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, membuat satu judul khusus:
Arahan dan Peringatan:
Ada sebagian orang pada zaman ini yang terlalu berlebihan, terjerumus dalam mutasyabih sifat-sifat Allah Swt tanpa kebenaran. Pembicaraan dan komentar mereka terhadap sifat-sifat Allah Swt dengan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Swt. Dalam hal ini mereka mengeluarkan kata-kata yang pelik; mengandung makna tasybih (penyamaan Allah Swt dengan makhluk) dan tanzih (pensucian Allah Swt dari sifat makhluk). Sangat disayangkan mereka membahas itu kepada masyarakat awam. Yang paling menyedihkan, mereka menisbatkan itu pada Salafusshalih. Mereka menyatakan diri kepada masyarakat bahwa mereka adalah kalangan Salaf. Diantaranya adalah ucapan mereka, “Sesungguhnya Allah Swt bisa ditunjuk secara fisik”. Ucapan mereka, “Allah memiliki salah satu dari enam arah, yaitu arah atas”. Ucapan mereka, “Allah Swt bersemayam di atas ‘Arsy dengan dzat-Nya, dengan makna bersemaya yang hakiki; bahwa Allah Swt benar-benar menetap di atas ‘Arsy”. Akan tetapi mereka juga mengatakan, “Allah bersemayam tapi tidak seperti menetapnya kita, bukan seperti yang kita ketahui”. Demikianlah mereka memahami ayat-ayat mutasyabihat. Mereka tidak memiliki dasar dalam hal ini melainkan sikap berpegang pada zahir teks (tekstual). Telah jelas bagi Anda bagaimana kalangan Salaf dan Khalaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat. Anda juga telah mengetahui bahwa memaknai ayat-ayat mutasyabihat secara zahir (tekstual), namun tetap mengatakan bahwa ayat-ayat itu tetap pada hakikatnya, itu bukanlah pendapat seorang pun dari kaum muslimin. Akan tetapi itu adalah pendapat penganut agama lain seperti Yahudi dan Nasrani, pendapat pengikut aliran sesat seperti Musyabbihah (kelompok yang menyamakan Allah Swt dengan makhluk) dan Mujassimah (kelompok yang menyatakan Allah Swt memiliki fisik seperti fisik makhluk).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama