Belakangan ini kita dihadapkan pada banyak pemikiran Islam yang “menyimpang” yang berusaha menyesuaikan apapun dalam ajaran Islam dengan jaman, para pemikir itu bukan menyelaraskan pemahaman mereka dengan Al-Qur’an dan justru berlaku sebaliknya menyelaraskan Al-Qur’an dengan pola fikir mereka. Orang-orang ini sering disebut sebagai kaum moderat dan telah mempunyai banyak pengikut bahkan diantara mereka adalah para cendikiawan, dan menjadi madzhab baru dengan inti ajaran mangakali berbagai macam pedoman Islam sesuai dengan akal mereka. Pemikiran ini meskipun telah ada sejak ratusan tahun silam dalam bentuk pemahaman kaum Khawarij dan Mu’tazilah namun faham ini kemudian surut dan para pengikutnya bergerak di “bawah tanah”. Belakangan ini faham Mu'tazilah dan Khawarij berusaha dihidupkan kembali oleh para pengikutnya kepada masyarakat.

mu'tazilah dan khawarij

Mu'tazilah dan Khawarij


Kelompok dengan pola fikir yang menyimpang dari aqidah ahlussunnah waljama’ah ini mengerahkan segala kemampuan pemikiran mereka untuk berbeda pendapat dengan para Salafushsholihin. Mereka berpendapat siapapun memiliki hak untuk melakukan ijtihad dalam mafsirkan dan melakukan ta’wil, alasan dari apa yang mereka lakukan adalah “Jika orang-orang terdahulu adalah ulama, maka kami pun ulama juga”.

Mereka muncul sejak awal permulaan abad ini, pada awalnya mereka muncul secara sembunyi-sembunyi dan bergerak pada kalangan terbatas untuk menghindari penentangan dari masyarakat. Seiring berjalannya waktu mereka terus berkoordinasi dan melakukan lobi dengan berbagai fihak bahkan di luar Islam untuk mendapatkan dana dan kekuasaan, setelah semua itu di dapatkan mereka secara terang-terangan melontarkan “fikroh nyleneh” mereka kepada masyarakat. Untuk mempermudah penyebaran pola fikir yang dimilikinya mereka merekrut berbabagai kalangan dari latar belakang yang berbeda seperti misalnya para para pemikir, intelektual, budayawan, wartawan, politisi bahkan para da’i. Mereka biasanya merekrut da’i yang masih memiliki kafa’ah ilmu yang terbatas namun memiliki semangat dan gampang dikendalikan.

Dengan dukungan berbagai fihak yang memiliki pemikiran yang sama untuk melakukan “modernisasi Islam” sesuai pola fikir dan pemahaman mereka, mereka saling bahu membahu dan sistematis mulai menyebarkan ajaran Mu'tazilah dan Khawarij. Sebagian dari mereka adalah para pemikir Islam karbitan dimana mereka bermodal semangat dalam berislam tanpa dasar pengetahuan aqidah yang lengkap sebelumnya dan salah dalam memilih pembimbing. Celakanya mereka adalah orang-orang yang memiliki pengaruh besar di masyarakat seperti politisi, cendikiawan, wartawan bahkan da’i dan tragisnya lagi mereka berjuang mati-matian terhadap pendapat yang diikuti, tanpa menyadari bahwa sebenarnya pemahaman yang diikuti adalah pemahaman yang bertentangan dengan aqidah ahlussunnah wal jama’ah satu-satunya aqidah yang dibenarkan oleh Rasulullah.

Mari kita fahami, kapan dan darimana pemikiran Islam moderat yang menyipang ini dimulai. Pemikiran ini dimulai pada pertengahan abad ke-19 dan bukan berasal dari wilayah Arab melainkan dari India. Penggagasnya adalah seorang Muslim asal India yang bekerja pada pemerintah Inggris bernama Sir Ahmad Khan. Pergaulan dan tempatnya bekerja membentuk karakter dan pola fikir Ahmad Khan sebagai seorang yang mengagumi budaya, tradisi dan perilaku orang-orang Inggris meskipun masih tetap sebagai Muslim. Dia berpendapat bahwa umat Islam harus seperti orang-orang Inggris (barat) seperti yang dilihatnya selama ini dan dia berusaha untuk menyebarkan pendapatnya. Sir Ahmad Khan berusaha menyebarkan pendapatnya dengan dakwah yang dilakukannya dengan 3 prinsip dakwah sebagai berikut:

  • 1. Menafsirkan Al-Qur’an selaras ilmu modern dan filsafat.

  • 2. Menjauhkan sunnah nabawiyyah dan menolak semua sunnah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.

  • 3. Menghancurkan dan melecehkan ilmu ushul-fiqh dan membuka pintu ijtihad dengan hanya menggunakan akal semata.


Dari tiga poin dakwah yang dilakukan olehnya, Sir Ahmad Khan telah menjadi cikal bakal lahirnya pemikiran yang mendasarkan penafsiran Al-Qur’an pada filsafat dan akal (meskipun tanpa bimbingan wahyu) dimana penafsirannya disesuaikan dengan hukum alam (qawanin ath-thabi’ah) berdasarkan pemahaman masyarakat pada jamannya. Sebagai contoh penafsirannya tentang Nabi Adam yang disesuaikan dengan teori yang disampaikan oleh Charles Darwin. Dia juga memiliki keyakinan tentang mukjizat yang tidak dapat diraba (hissi) yang menggambarkan bahwa Malaikat adalah merupakan kekuatan alami dan meyakini bahwa kenabian adalah bakat yang tumbuh dengan sendirinya bila disertai kesungguhan dari dirinya.
Sir Ahmad Khan juga membagi penafsiran Hadits dengan 2 kelompok penafsiran yaitu:

  • 1. Penafsiran Hadits khusus hanya untuk urusan agama.

  • 2. Penafsiran Hadits khusus hanya untuk urusan dunia.


Pada penafsiran kedua ini bukan merupakan tugas para Rasul. Dengan demikian dia tidak mau mengakui hukum rajam, membolehkan riba, membatasi nikah tidak lebih dari satu, dan tidak mau mengakui ijma’ sebagai sumber syari’at. Dia juga berpendapat bahwa fiqh merupakan karya manusia yang terbatas pada jamannya dan menyerukan agar pintu ijtihad dibuka lebar-lebar tanpa membatasi peranan akal. [Lihat, Mafhum Tajdiid Ad-Diin, Busthami Sa’id, Daar Ad-Da’wah, Kuwait, hal. 123-131; Daar B.A., Religion Thought of SA. Khan, Lahore, 1957, hal. 160-273].

Berikutnya Modernisasi 'Aqidah ala Mu'tazilah dan Khawarij

Modernisasi dan ‘Aqidah Ala Mu'tazilah dan Khawarij


Disadari atau tidak pola fikir seperti ini sering kita dengar dikemukakan oleh para cendikiawan baik dalam buku-buku mereka maupun disampaikan dalam forum umum baik di media cetak maupun media elektronik, bahkan oleh seorang yang disebut-sebut sebagai pendakwah dan cukup terkenal. Mereka menisbatkan diri dalam kelompok dakwah “modernis” tanpa pemahaman agama yang syammil (menyeluruh). Rata-rata mereka memahami agama secara parsial dan mengemukakan pendapat yang diyakini kebenarannya sebelum mereka mendapat pengetahuan tentangnya secara lengkap. Kadang mereka adalah orang yang memaksakan diri untuk berbicara tentang agama agar disebut sebagai seorang yang faham agama meskipun tanpa di dasari ilmu, mereka tidak menyadari bahwa ucapannya mempunyai pengaruh yang besar kepada masyarakat awam. Kenyataannya masyarakat sering mengikuti pendapat tokoh publik tentang agama meskipun tokoh tersebut tidak faham agama seperti misalnya pendapat seorang kepala daerah tentang jilbab beberapa waktu yang lalu. Beberapa waktu yang lalu masyarakat juga sempat menerima “fatwa” legalitas LGBT dari seorang guru besar dari Universitas ternama di Indonesia.

Faham-faham seperti ini banyak beredar dikalangan kaum Muslimin tanpa perlawanan yang berarti, seperti misalnya pemahaman tentang teori Darwin yang difahami oleh sebagian besar kaum Muslimin bukan hanya sebagai teori melainkan sebagai sebuah kebenaran bahwa manusia berasal dari primata. Di sekolah-sekolah ditanamkan bahwa teori Darwin adalah kebenaran bahkan sejak anak-anak masih berada di taman kanak-kanak.

Belum lagi hukum-hukum Islam yang bahkan tidak disentuh sama sekali oleh Negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dimana secara sistematis hukum Islam telah dikebiri dengan berbagai macam phobia tentangnya. Tidak ada hukum rajam bagi pezina, tidak ada hukum potong tangan untuk pencuri meskipun para koruptor telah mencuri uang jauh berada diatas ambang nishob. Bahkan para penentu keputusan (legislative dan yudikatif) dari kalangan umat Islam rame-rame menentangnya. Ini semua adalah bagian dari keberhasilan “dakwah” mereka.

Di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa malaikat adalah kekuatan alami. Pendapat demikian dilontarkan semata-mata agar bisa diterima secara akal. Mereka juga ada yang menghalalkan riba dan khamr hanya dengan alasan darurat. Dengan demikian, tanpa disadari mereka sebenarnya telah hanyut ke dalam budaya Barat yang menghalalkan segala cara. Pada akhirnya, tak ada lagi Islam di hati mereka kecuali hanya tinggal nama.

Dalam sejarah perkembangan ilmu Al-Qur’an dan Hadits terdapat banyak Ulama yang dianggap mengadopsi pola fikir Mu'tazilah dan Khawarij dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits. Mereka Ulama besar dan terkenal meskipun juga mendapat kritikan atas penafsiran mereka. Tidak diketahui apa alasan mereka, sebagian ada yang berpendapat bahwa penafsiran yang mereka lakukan didasarkan pada upaya mereka agar Al-Qur’an lebih bisa di terima oleh orang-orang barat meskipun harus mengesampingkan esensi dasar dari ayat-ayat tersebut. Ada juga yang beranggapan bahwa mereka memang pengikut muktazilah yang memang mendasarkan penafsiran Al-Qur’an berdasarkan akal. Syaikh Muhammad ‘Abduh adalah salah satu contoh Ulama yang disebut-sebut menafsirkan Al-Qur’an dengan dasar pemahaman Mu'tazilah dan Khawarij, seperti saat dia menafsirkan ayat berikut ini:

وَقُلْنَا يَا آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ * فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ

“Dan Kami berfirman : "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan" [QS. Al-Baqarah : 35-36].

Syaikh Muhammad ‘Abduh menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaksud surga di situ adalah sebuah kebun yang berada di sebuah bukit [Al-A’malu Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh]. Penafsiran semacam ini adalah penafsiran model Mu’tazilah dan Qadariyyah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qurthubi [Lihat Tafsir Ibni Katsir I, hal 116]. Begitu pula dengan Muhammad Iqbal, dia terpengaruh pemikiran semacam ini dengan menafsirkan surga Nabi Adam yang ada di dalam Al-Qur’an dalah suatu tempat kehidupan sederhana yang terputus dari lingkungan sekitar, namun terpenuhi segala fasilitasnya. Dari penafsiran ini dikatakannya, bahwa kisah turunnya Adam ke bumi, dalam Al-Qur’an, tidak ada hubungannya dengan munculnya manusia pertama di muka bumi [Tajdiid Al-Fikr Ad-Diin fil-Islaam, Muhammad Iqbal].

Begitu pula dalam menafsirkan surat Al-Fiil, Muhammad ‘Abduh masih memakai pola yang sama. Katanya : “….Di hari kedua, tentara Abrahah terjangkiti penyakit cacar. ‘Ikrimah mengatakan, bahwa penyakit ini pertama kali muncul di negeri ‘Arab. Ya’qub bin ‘Uthbah menyatakan tentang kejadian ini, bahwa pada tahun itu cacar menyerang ke seluruh tubuh mereka hingga hancur tubuh itu. Kemudian Abrahah dan sebagian tentaranya menyingkir dari tempat tersebut dan banyak diantaranya yang mati” [Al-A’malu Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid III, hal 473].

Latar belakang penafsiran semacam ini adalah dalam rangka agar Al-Qur’an diterima oleh pola pikir masyarakat Barat. Padahal, Allah ta’ala telah secara jelas menyebutkan pengertian ayat tersebut yang tentu saja tidak memerlukan kepada ta’wil. Firman-Nya :

تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ

“Yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar” [QS. Al-Fiil : 4].

Bila dilihat dalam kitab tafsirnya, akan banyak ditemukan pemikiran serupa dari Syaikh Muhammad ‘Abduh yang dituangkan dalam tafsir yang dibuat olehnya.
Menurut para Ulama penentang tafsir Syaikh Muhammad Abduh cara penafsirannya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya saat dirinya menetap di Perancis. Perlu diketahui bahwa Syaikh Muhammad Abduh pernah menetap di Perancis dan terus melakukan hubungan dengan para Orientalis barat. Hubungan tersebut tetap terjalin meski dirinya telah berpindah ke Mesir, baik melalui surat-menyurat atau saling kunjung-mengunjungi. Tatkala dirinya menjabat sebagai mufti di Mesir, dia pernah pula dikunjungi oleh orientalis. Dia juga menjalin hubungan yang cukup erat dengan seorang hakim berkebangsaan Inggris di Mesir, yaitu Lord Kramer. Hal itu bukan merupakan sesuatu rahasia lagi. [Lihat Waqi’unal-Mu’ashir, Muhammad Quthb, hal. 310-315].

Sebagaimana telah diketahui, bahwa pada masa itu masyarakat Barat merupakan masyarakat yang masih dalam suasana keterlepasan dari pengaruh kediktatoran gereja. Pada masa itu, di masyarakat Barat, saat gencar-gencarnya mengagungkan akal bahkan mendewakannya. Oleh karenanya, Muhammad ‘Abduh berusaha membuktikan bahwa Islam selaras dengan akal. Atau dengan kata lain Islam itu rasional. Adapun jika terdapat pertentangan akal dengan naql (Al-Qur’an dan As-Sunnah), Muhammad ‘Abduh mengatakan : “Kaum muslimin telah bersepakat – dan hanya sedikit yang menyelisihi – apabila akal bertentangan dengan naql, maka akallah yang didahulukan” [Al-A’mal Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid 3, hal. 282]. Dengan kaidah dan pemikiran seperti ini, Syaikh Muhammad ‘Abduh menolak seluruh mukjizat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali Al-Qur’an Al-Kariim.

Sedang tokoh lainnya saat ini adalah Dr. Muhammad ‘Imarah yang mengatakan dalam bukunya Tayyaaraat Al-Fikr Al-Islamiy, halaman 87-88, bahwa secara kelompok dan golongan, Mu'tazilah dan Khawarij telah sirna di muka bumi. Akan tetapi, secara pemikiran, Mu'tazilah dan Khawarij telah begitu berpengaruh terhadap kelompok atau golongan lainnya. Hingga, pemikirannya sangat melekat dan berkembang di benak orang-orang Arab dan kaum muslimin. Dia juga mengetengahkan, bahwa akal di kalangan mereka mempunyai kedudukan yangs sangat tinggi. Kemudian dia mengatakan : “Demikianlah Mu’tazilah, mereka adalah para bintangnya ahli-ahli pikir, agama, dan revolusi ! Sesungguhnya mereka telah menjadikan filsafat, pikiran, dan kemajuan sebagai landasan ilmu pengetahuan dan sebagai pengganti warisan kuno…”.

Syaikh Muhammad Al-Ghazali, juga disebut-sebut telah menjadikan manhaj ‘aqlaniy (mengutamakan akal daripada nash) dalam berbagai buku karangannya. Nampak dalam banyak tulisannya, ia memberikan kebebasan pada akal secara berlebih. Tidak cukup baginya, jika akan hanyalah sebagai tempat untuk ber-istinbath saja. Akan tetapi, ia menjadikan akal sebagai alat untuk mempengaruhi dan membantah (hadits shahih – Red.). Hal ini menyerupai manhaj Mu’tazilah. [Al-Ghazali fii Majlisi Al-Inshaaf, hal. 83, oleh Syaikh ‘Aidl Al-Qarniy[1]].

Manhaj ‘aqlaniy ini benar-benar tersebar di berbagai bukunya, terutama dalam bukunya yang mendhalimi ilmu dan ahlinya, yaitu yang berjudul As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadiits. Telah nampak secara jelas bahwa ia telah melakukan kedhaliman terhadap sunnah dan ahlinya. Hal ini dapat diketahui dari buku-buku bantahannya, seperti Hiwarun Hadi Ma’a Al-Ghazaliy oleh Syaikh Salman Al-Audah.[2]

Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya ini Nampak dengan jelas bahwa ia telah meletakkan manhaj baru dalam pemikiran keislaman, yakni menjadikan akal sebagai madzhab baru. Pemikiran Al-Ghazali ini telah merusak dan menghancurkan kaidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam menyeimbangkan akal dan naql [Azmah Hiwar Ad-Diin, Jamal Sulthan, hal. 29]. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi petunjuk kepadanya. Adapun kesimpulan dari pemikirannya : “Jika ada sebuah hadits yang menyelisihi (bertentangan) dengan pemikiran manusia, maka ia berhak menolak dan melempar sejauh-jauhnya, bagaimanapun sanadnya dan siapapun yang menshahihkannya serta menguatkannya, walaupun para ulama dan para imam kaum muslimin sekalipun” [Azmah Al-Hiwar Ad-Diin, Jamal Sulthan, hal. 29].

Al-Ghazali mengatakan : “Hendaklah diketahui, apabila akal menghakimi sesuatu itu batil, maka hal itu mustahil untuk menjadi agama…. Agama yang benar adalah kemanusiaan yang sempurna. Kemanusiaan yang sempurna adalah akal yang mengendalikan kebenaran, ilmu yang cemerlang, yang benci kepada khurafat, yang menjauhi khayalan…. Dan kita selalu mengokohkan pendapat, bahwasannya setiap hukum yang ditolak akal, setiap perbuatan yang tidak diterima oleh seorang yang sehat akan ditentang oleh fitrah yang lurus, mustahil untuk menjadi agama ! [Majalah Adl-Dlaha’, Qatar, edisi 101/Rajab 1404 H].

Inilah kalimat-kalimat yang sangat membahayakan. Bukan hanya muncul dari manhaj ‘aqlaniy, akan tetapi lebih jauh dari itu. Oleh karena itu, kita sering jumpai Al-Ghazali menolak (dengan penuh keberanian) hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tsabit, hanya karena tidak sesuai dengan akalnya !

Di antara hadits-hadits shahih yang ditolak ialah : menangisnya seseorang kepada si mayit, hadits-hadits yang berkenaan kisah malaikat maut dan Musa, hadits tentang shalat wanita di masjid, dan hadits terputusnya shalat. [Lihat Kasyfu Mauqif Al-Ghazali minas-Sunnah wa Ahluha, Syaikh Rabi’ bin Hadi].

Seluruh hadits yang ditolaknya merupakan hadits shahih dan sebagian besar tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Masih banyak lagi penolakannya terhadap hadits-hadits shahih seperti ini.

Ada juga pemikir Islam lainnya yang juga memiliki pemikiran yang sama seperti misalnya Muhammad Ahmad Khalfullah. Ia mengatakan : “Sesungguhnya kehidupan manusia di atas bumi tidak memerlukan lagi peraturan yang datangnya dari langit (wahyu) sebab manusia sudah sampai pada tingkat kedewasaan berpikir. Selain itu, manusia telah dapat mengatur dirinya sendiri” [Ghazwun min Ad-Dakhil, Jamal Sulthan, hal 51].

Dia berpendapat bahwa wahyu dan kenabian itu mengekang dan membekukan akal manusia. Oleh karena itu dengan berakhirnya peraturan kenabian adalah sebagai sarana untuk memberikan kebebasan akal manusia dari belenggu peraturan yang datangnya dari langit. [Lihat bukunya yang berjudul Al-Usus Al-Qur’aniyyah li At-Taqaddum, hal. 4].

Selain nama tokoh-tokoh di muka, ada pula seorang penulis yang bernama Dr. Husain Ahmad Amin. Dia anak dari Ahmad Amin, pengarang Fajr Al-Islam dan Dluha Al-Islam dan lain-lain. Ayahnya mengirimnya ke Barat untuk menimba ilmu. Dia dibesarkan dalam pangkuan Barat. Tatkala kembali ke negara asalnya, dia membawa pemikiran Barat dan berkeinginan untuk menerapkan pemikirannya. Dia banyak menulis banyak artikel kontroversi, diantaranya artikel-artikel yang ditulis di Majalah Al-‘Arabi yang terbit di Kuwait. Dia mengatakan dalam salah satu artikelnya, bahwa hukuman bagi seorang pencuri di jaman ini berbeda dengan hukuman di lingkungan Baduwi. Selain itu, dia katakan juga, bahwa perintah wajib hijab hanya turun di Madinah, dan saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kota Kairo abad ke-20; sedangkan hukuman potong tangan bagi pencuri sebagaimana ditetapkan Al-Qur’an adalah syari’at badawiyyah, seperti halnya meyakini qadla dan qadar ! [Dinukil dari Asatir Al-Mu’ashirin, Ahmad ‘Abdurrahman. Hal. 152].

Begitu pula dengan Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Dia memakai pula istilah fiqh al-Badui dalam bukunya As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits. Tujuannya : mengejek ulama sunnah yang memegang teguh manhaj Islam yang benar. Slogan-slogan seperti ruh keislaman, toleransi, tidak fanatik, merupakan slogan yang selalu digembar-gemborkan oleh orang-orang ‘aqlani. Slogan-slogan di atas memang bisa dibenarkan, akan tetapi lebih banyak disalahgunakan.

Dr. Hasan At-Turabi, yang namanya sedang melambung lantaran pengaruhnya dalam pemerintahan Sudan yang menerapkan syari’at Allah. Dalam hal ini (keinginan untuk menegakkan hukum Allah di tanah Sudan) merupakan kabar gembira bagi kaum muslimin. Akan tetapi, pemikiran At-Turabi melalui ceramah dan karya-karyanya sangat menyimpang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dia mengatakan – semoga Allah memberi petunjuk padanya – dalam bukunya Tajdid Al-Fikr Al-Islamiy hal. 26 : “Satu-satunya marja’ (rujukan) asasi yang harus dikembalikan kedudukannya sebagai landasan yang penting adalah akal…!”.

Dengan pemikiran ‘aqlaniy seperti ini, secara tidak langsung dia mengatakan bahwa menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnha sebagai satu-satunya pedoman tidaklah cukup untuk memenuhi kehidupan manusia. Dalam buku yang sama, hal. 25, dikatakan : “Di antara yang menghambat kemajuan kaum muslimin saat ini lantaran adanya orang yang mengatakan : ‘Cukup bagi kami Al-Qur’an dan As-Sunnah’. Inilah khayalan. Untuk itu para ulama dan fuqahaa harus bangkit untuk menghasilkan fiqh baru untuk keadaan yang baru”.

Apa yang dimaksud At-Turabi dengan fiqh baru ? Apakah keluar dari Al-Qur’an dan As-Sunah serta tidak ada ikatan dengan keduanya ? Atau fiqh baru tersebut bersumber dari keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) ? Jika yang pertama yang diinginkan, maka harus ditolak secara mentah-mentah ! Sebab, hal itu merupakan pintu menuju kemurtadan. Kita memhon kepada Allah keselamatan. Jika yang kedua yang dimaksud, yakni bersumber padakitab Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu akan membatalkan ucapannya yang terdahulu. [Lihat Al-‘Aqlaniyyun Afrakhu Al-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun, hal. 68-69, Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Atsary].

Saat ceramah di Universitas Khartoum, Sudan, dengan tema Tahkim Asy-Syari’ah, ia mengatakan : “Saya ingin menyampaikan bahwa dalam lingkup negara yang telah bersatu dibolehkan bagi seorang muslim dan juga seorang Masehi (Nashrani) untuk merubah agamanya” [Lihat buku Ash-Sharim Al-Maslul fii Radd ‘alaa At-Turabi Syaatimu Ar-Rasul, hal. 12, Ahmad bin Malik]. Na’udzu billahi min dzaalik.

At-Turabi juga telah mengingkari dengan uslub-nya yang ‘aqlaniy mengenai hukum rajam. Dia menetapkan bagi seorang yang mnum khamr antara 20-40 kali cambukan. Atau orang tersebut dipenjara tidak lebih dari satu bulan dan didenda dengan denda yang tidak ada artinya. [Idem].

Al-‘Allamah Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdil-Hamid Al-Halabi Al-Atsary dalam Al-‘Aqlaniyyun Afrakhul-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun hal. 71, mengatakan : “…..dan untuk menguatkan pernyataan terdahulu, guna menyingkap rahasia serta menambah keterangan seperti apa yang dikatakan Muhammad Surur Zainal-‘Abidin dalam bukunya Dirasaat fii Sirah Nabawiyyah hal. 308, yakni berkenaan pengalaman dirinya bersama At-Turabi (yang mengatakan dalam buku tersebut), bahwa Dr. Hasan At-Turabi telah mengingkari turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihis-salaam di akhir jaman nanti. Saya katakan kepadanya, ketika saya berada di satu majelis lebih dari sebelas tahun yang lalu : ‘Bagaimana bisa engkau mengingkari hadits mutawatir ?’. At-Turabi menjawab : ‘Saya tidak meragukan hadits ini dari sisi sanadnya, tetapi saya berpendapat, hadits ini bertentangan dengan akal, sehingga akal harus didahulukan dari nash bila terjadi pertentangan !”.

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Atsary mengatakan dalam bukunya di muka (hal. 72-74) berkenaan Dr. Yusuf Al-Qaradlawi : “Dengan menyesal saya katakan, bahwa pemikiran ‘aqlaniy terkadang Nampak di sebagian karya Yusuf Al-Qatadlawi meski disampaikan dengan uslub (cara) terselubung dan kata-kata yang halus, seperti halnya Muhammad Al-Ghazali. Walaupun, hadits-hadits yang disebutkan Al-Qaradlawi, kadang ditolak dan diingkari Muhammad Al-Ghazali. Dalam hal ini keduanya mempunyai perbedaan dalam dua sisi :

  • 1. Yusuf Al-Qaradlawi lebih berilmu dan lebih mengerti tentang kaidah-kaidah fiqhiyyah daripada Al-Ghazali, dan dia lebih dekat kepada mahaj ilmiah yang benar.

  • 2. Hadits-hadits yang secara terang-terangan ditolak oleh Al-Ghazali, maka Al-Qaradlawi hanya bersikap tawaquf (mendiamkannya), kemudian ia menyebutkan haditsnya.


Sikap Al-Qaradlawi semacam ini menghasilkan sikap yang sama dengan Al-Ghazali, cuma dalam hal ini, Muhammad Al-Ghazali caranya kasar dalam menolak hadits.

Uslub ‘aqlaniy Dr. Yusuf Al-Qaradlawi bisa dilihat dalam bukunya Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah ?. Salah satu contoh pemikiran ‘aqlani-nya adalah sikap tawaquf-nya berkenaan dengan hadits yang tercantum dalam kitab Shahih Muslim dari Anas, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada seorang lelaki : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka” [Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah, hal 97].

Kadang, pendapatnya condong kepada ta’wil yang menyimpang dari nash itu sendiri, seperti yang dilakukannya ketika menyikapi hadits riwayat muttafaqun ‘alaihi, yaitu :

الْمَوْتُ يُؤْتَى عَلَى هَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحٍ

“Kematian itu didatangkan dalam bentuk seekor domba yang berwarna kehitaman…”. [Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah, hal. 160].

Dia pun masih menyatakan keheranannya kepada orang-orang yang selalu membawa-bawa hadits tentang lalat atau tentang Nabi Musa ‘alaihis-salaam yang telah menempeleng Malaikat Maut. Dan masih banyak lagi hal yang seperti ini di dalam bukunya.

Demikianlah beberapa contoh pemikiran Mu'tazilah dan Khawarij yang telah dikemukakan beberapa pemikir dari Timur Tengah. Adapun di Indonesia, Nurcholis Madjid, bisa disebut sebagai salah seorang tokoh Mu'tazilah dan Khawarij. Berikut ini di antara beberapa pemikirannya :

1. Alumnus Chicago ini mengklaim bahwa Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an bukan nama suatu agama, tapi maksudnya berserah diri kepada Tuhan.

2. Sikap sangat keberatannya terhadap kalimat haniifan musliman (tentang Nabi Ibrahim) untuk diartikan Nabi Ibrahim ‘alaihis-salaam adalah seorang muslim, kendati ayat itu dengan tegas menyebut musliman. [Dinukil dari dokumentasi kliping Paramadina Cak Nur in Fokus pasca ceramah budaya di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992. Sumber : Tempo, Editor, Amanah, Panjimas, Matra, Media Dakwah, Pelita, Harian Terbit, Salam, Fokus].
Saat ini kita melihat banyak para ilmuwan Muslim memiliki pemikiran semacam ini dan bertolak belakang dengan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Meskipun banyak penentangnya namun sebagian orang mengikuti pemikiran Mu'tazilah dan Khawarij. Pemahaman agama yang cukup sangat diperlukan untuk membentengi diri dari pemikiran-pemikiran seperti ini yang menyusup secara halus melalui jargon pemikiran yang mereka klaim sebagai pemikiran yang modern. Dengan demikian hendaknya kita selalu waspada agar jangan sampai terjerumus ke dalam pemikiran-pemikiran sesat seperti Mu'tazilah dan Khawarij. Jangan terkecoh hanya dengan kemasan “intelektualisme”. Jadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai timbangan dalam menerima dan menolak (setiap pemikiran – Red.).

Mata rantai generasi ‘aqlaniy ini terus berlangsung sampai saat ini. Sedang nama-nama mereka banyak sekali yang belum terungkap. Walau demikian, mereka bersifat congkak, tajam lisannya, dan kasar perkataannya. Apabila mereka membaca atau menulis, seakan-akan tidak ada kebenaran sama sekali kecuali datang dari mereka. [Kitab ‘Aqlaniyyun Afrakhu Al-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun].

Berikutnya: Sesungguhnya Rabb-ku Mewahyukan Kebenaran dan Bukan Mu'tazilah dan Khawarij Sebagai Acuan

Sesungguhnya Rabb-ku Mewahyukan Kebenaran dan Bukan Mu'tazilah dan Khawarij Sebagai Acuan


Orang-orang moderat dari kalangan Mu'tazilah dan Khawarij lebih toleransif dengan segala sesuatu yang berasal dari luar Islam bahkan untuk masalah aqidah sekalipun dan cenderung tidak mempedulikan pada kaidah ushul yang merupakan manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah di dalam masalah tafsir, hadits, dan fiqh. Mereka menafsirkan Al-Qur’an berbeda dengan penafsiran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Al-Qur’an dan Hadits adalah kebenaran mutlak dan penafsirannya tidak boleh disesuaikan dengan akal fikiran manusia karena sebenarnya akal dan fikiran manusia yang harus disesuaikan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Penafsiran Al-Qur’an harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah karena hanya beliaulah yang paling memahami Al-Qur’an. Barangsiapa yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan yang diajarkan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia tergolong orang-orang salaf. Barangsiapa yang berpegang kepada jalan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yang menjaga keutuhan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah, berarti dialah pengikut Ahlus sunnah wal jama’ah.

Moderat dan modern adalah sebuah keniscayaan karena kita hidup bersamanya seiring dengan perkembangan jaman, namun pemikiran modern bukan berarti menjadikan ajaran Al-Qur’an dan Hadits harus mengikuti pemikiran manusia. Dua peninggalan Rasulullah ini harus dijadikan acuan dalam berfikir, dalam membuat undang-undang, hukum, dan ketetapan. Siapapun tidak boleh mengesampingkan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah dengan alasan bahwa ini adalah hanya perkataan Muhammad selaku manusia biasa yang tidak ma’shum. Oleh karena itu, tidak patut diteladani, kecuali dalam perkara yang sumbernya dari wahyu. Sungguh, tidak ada individu atau kelompok yang menolak hadits (hadits ahad, khususnya) sejak dahulu kala, kecuali Mu'tazilah dan Khawarij.

Dahulu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus para shahabat secara ahad (individu), dan perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dalam masalah puasa Ramadlan pada suatu kaum dengan riwayat ahad. Kaum muslimin pada saat itu pun menerima berita tanpa disertai keraguan dan pengingkaran terhadap kabar tersebut. Mereka menjadikan perintah tersebut sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Adapun Imam Ahmad berpendapat, bahwa hadits ahad memberikan pengetahuan yang meyakinkan dan tidak ada yang menyelisihinya, kecuali Mu'tazilah dan Khawarij pada kurun waktu seratus tahun setelah hijrah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Mu'tazilah dan Khawarij adalah suatu kelompok yang mendahulukan akal daripada nash. Pola fikir Mu'tazilah dan Khawarij sama seperti pola fikir yang dimiliki oleh bangsa Yunani yang bercampur dengan kebudayaan Nashrani. Oleh karenanya pengikut Mu'tazilah dan Khawarij sering berfikir seperti Aristoteles bahwa Tuhan telah menciptakan alam semesta ini, kemudian dibiarkan begitu saja dan tanpa campur tangan dari-Nya.

Dari pengaruh itu para pengikut Mu'tazilah dan Khawarij mengutamakan akal daripada nash dan mena’wilkan nash-nash hingga rusak. Gerakan mereka dilakukan secara diam-diam. Hal itu dilakukan hingga mereka mendapat kekuasaan di jaman Ma’mun bin Harun Al-Rasyid. Ma’mun Harun Al-Rasyid ini pun merupakan penganut Mu’tazilah. Dia turut andil bagi tersebarnya fitnah tentang pemahaman bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Hingga, dari fitnah tersebut, berakibat timbulnya berbagai intimadasi terhadap para penganut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Termasuk di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang mengalami siksaan dan meringkuk dalam penjara selama kurang lebih tujuh belas tahun karena Imam bin Hanbal mempertahankan keyakinannya.

Berikutnya: Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam Teladan Kita dan bukan para pengikut Mu'tazilah dan Khawarij

Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam Teladan Kita dan bukan para pengikut Mu'tazilah dan Khawarij


Sebagai pengikut Ahlus sunnah wal jama’ah jadikanlah sunnah sebagai hujjah dalam urusan dunia dan akhirat sebagaimana dalil mutawatir dalam Al-Qur’an. Allah berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” [QS. Al-Hasyr : 7].

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 65].

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” [QS. An-Nisaa’ : 80].

‘Umar radliyallaahu ‘anhu mengatakan : “Akan datang pada kalian suatu kaum yang mendebatkan syubhat yang ada di dalam Al-Qur’an. Maka bantahlah mereka dengan sunnah, karena orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah, mereka lah yang paling mengerti tentang Kitab Allah”.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Mereka yang mengukur Kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan akalnya, niscaya akan menjerumuskannya ke dalam perbuatan yang sia-sia. Yakni, dengan cara melakukan pengingkaran terhadap kebenaran-kebenaran yang ada di dalamnya melalui pemalsuan dan penyelewengan. Sesungguhnya pembicaraan mereka adalah omong kosong belaka, dan perbuatan mereka adalah perbuatan orang-orang zindiq” [Bayan Talbis Jahmiyyah, 1/105, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Lihatlah Al-‘Ashriyyun Mu’tazilah Al-Yaum, Yusuf Kamal, hal. 111-115].

[‘Abdurrahman At-Tamimi & Hanan Bahanan – Majalah As-Sunnah Edisi 15/Th. Ke-2/1416 H-1996 M, hal. 29-38 – ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ 14 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Rabi’ul-Awal 1430 H].

 

Post a Comment

أحدث أقدم