Islam diturunkan oleh Allah SWT adalah sebagai Rahmatan lil Alamin, untuk mewujudkan hal itu dibutuhkan pemimpin yang amanah yang dapat memimpin umat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah pada jamannya. Oleh karena itu memilih pemimpin Muslim yang amanah adalah sebuah kewajiban agar siapapun dapat merasakan rahmat Islam. Ada beberapa persyaratan yang ditetapkan oleh Islam bagi setiap Muslim yang akan menjadi pemimpin, dengan persyaratan tersebut maka seorang pemimpin diharapkan akan amanah dalam memimpin. Umat yang dipimpinnya baik umat Islam maupun non-Muslim akan merasa terayomi dan terlindungi hak-haknya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Oleh karenanya tidak heran jika Allah menurunkan ayat berikut ini:
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya: 107)
Berdasarkan ayat diatas Rasulullah SAW adalah RAHMAT dari Allah SWT bagi semesta alam yang meliputi manusia, malaikat, jin, hewan dan tumbuhan, serta seluruh isi langit dan bumi. Karenanya, jika Syariat Nabi Muhammad SAW dilaksanakan dengan baik dan diterapkan sebagaimana mestinya, jangankan manusia, bahkan hewan dan tumbuhan pun tidak akan terzalimi.
Salah satu bentuk rahmat yang dibawa Islam adalah ajaran untuk berbuat baik kepada seluruh manusia dan alam sekitar
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)
Bahkan dalam hadist, dengan tegas Rasulullah SAW mengancam umatnya yang berani mengganggu kafir dzimmi (-yaitu: kafir yang hidup damai dengan muslim), bahwa kelak di hari Kiamat nanti, ia akan menjadi musuh Rasulullah SAW. Karenanya, umat beragama apapun bisa hidup aman, damai dan nyaman di tengah kehidupan Umat Islam, selama mereka menjadi warga yang baik dan tidak mengganggu Umat Islam.
Setidaknya ada pilar-pilar toleransi yang harus menjadi patokan Umat Islam dalam menjaga keharmonisan hubungan antar umat manusia, apapun agamanya. Dan Islam telah meletakkan tidak kurang dari 10 PILAR TOLERANSI, sebagai berikut:
Pilar-pilar di atas secara lengkap beserta dalil penjelasannya diulas dalam buku Wawasan Kebangsaan – Menuju NKRI Bersyariah (hlm. 75-89) karya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Dr. Habib Muhammad Rizieq Shihab, Lc. MA. DPMSS.
Meski demikian, bukan berarti seorang muslim dapat melakukan apa saja untuk non-Muslim dengan dalih toleransi. Pastinya toleransi memiliki segudang batasan yang tidak boleh dilanggar oleh pemeluk agama, diantaranya tentang KEPEMIMPINAN. Baik skala negara, provinsi, kota atau kabupaten, yang tentunya memiliki posisi vital dan strategis dalam menetukan arah kebijakan pemerintahannya.
Di sisi lain, agama menjadi salah satu faktor utama yang sangat mempengaruhi ketetapan kebijakan. Sehingga, kepemimpinan non-Muslim di daerah mayoritas muslim, akan menjadi celah pemimpin kafir untuk mengendalikan dan menguasai Umat Islam. Hal ini jelas bertentangan dengan salah satu prinsip dasar Islam, yaitu menjunjung tinggi
‘Izzatul Islam wal Muslimin, yaitu Kemuliaan Islam dan Muslimin.
Allah SWT berfirman:
“… dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa: 141)
Karenanya, Islam melarang umatnya untuk menjadikan non-Muslim sebagai pejabat pemerintah, pemangku kebijakan atau pemimpin. Dalam konteks ini, Al Imam As Syafi’i dalam kitabnya; Al Umm yang merupakan buku induk Madzhab Syafi’i (6/227) mengatakan:
“Bagiku (baca: Imam Syafi’i) , tidak boleh seorang hakim atau pemimpin Umat Islam untuk mengangkat sekretaris dari kalangan kafir dzimmi. Dan tidak boleh pula ia meletakkan kafir dzimmi pada posisi yang lebih tinggi dari seorang muslim. Dan sepatutnya kita memberi tahu Umat Islam bahwa mereka (Umat Islam) tidak butuh kepada non-Muslim.”
Memilih pemimpin Muslim adalah kewajiban bagi setiap Muslim, meski demikian, bukan berarti kita dapat memilih pemimpin muslim dengan sembarangan dan asal-asalan. Dalam prespektif Islam, seorang pemimpin selain harus beragama Islam, juga harus dapat memenuhi berbagai criteria untuk mengantarkan umat kepada kesejahteraan dan bukan memperkaya diri sendiri dengan jalan yang tidak halal, seperti yang umum terjadi yaitu korupsi.
Baca juga: Penting Bagi Muslim Untuk Memahami Surat Al-Maidah 51
Ibnu Kholdun dalam Mukadimah-nya yang yang populer (hlm.98) menyebutkan beberapa syarat seorang pemimpin Muslim, diantaranya adalah:
Konsensus Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Padang Panjang (26 Januari 2009) menyebutkan bahwa memilih pemimpin Muslim harus orang Islam yang benar-benar beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah) dan memperjuangkan kepentingan Umat Islam, hukumnya adalah WAJIB.
Referensi: Buku HARAM Memilih Pemimpin Non-Muslim
Karya: As Sayyid Muhammad Hanif Alattas
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya: 107)
Berdasarkan ayat diatas Rasulullah SAW adalah RAHMAT dari Allah SWT bagi semesta alam yang meliputi manusia, malaikat, jin, hewan dan tumbuhan, serta seluruh isi langit dan bumi. Karenanya, jika Syariat Nabi Muhammad SAW dilaksanakan dengan baik dan diterapkan sebagaimana mestinya, jangankan manusia, bahkan hewan dan tumbuhan pun tidak akan terzalimi.
Salah satu bentuk rahmat yang dibawa Islam adalah ajaran untuk berbuat baik kepada seluruh manusia dan alam sekitar
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)
Bahkan dalam hadist, dengan tegas Rasulullah SAW mengancam umatnya yang berani mengganggu kafir dzimmi (-yaitu: kafir yang hidup damai dengan muslim), bahwa kelak di hari Kiamat nanti, ia akan menjadi musuh Rasulullah SAW. Karenanya, umat beragama apapun bisa hidup aman, damai dan nyaman di tengah kehidupan Umat Islam, selama mereka menjadi warga yang baik dan tidak mengganggu Umat Islam.
10 Pilar Toleransi Dalam Islam
Setidaknya ada pilar-pilar toleransi yang harus menjadi patokan Umat Islam dalam menjaga keharmonisan hubungan antar umat manusia, apapun agamanya. Dan Islam telah meletakkan tidak kurang dari 10 PILAR TOLERANSI, sebagai berikut:
- Tidak boleh ada pencampur-adukan agama Islam dengan agama lainnya.
- Tidak boleh ada paksaan kepada siapapun untuk masuk agama Islam.
- Kewajiban DAKWAH adalah dengan hikmah dan mauidzoh hasanah serta dialog dengan cara yang baik, tanpa melupakan kewajiban HISBAH dengan tegas, dan JIHAD dengan keras, sesuai dengan Syariat Islam.
- Tidak ada larangan berbuat baik dan bersikap adil kepada umat agama lain.
- Tidak ada larangan bermuamalah dalam urusan sosial ekonomi kemasyarakatan dengan orang di luar Islam.
- Tidak ada larangan memanfaatkan tenaga non-Muslim untuk kemaslahatan Umat Islam.
- Kewajiban penegakan keadilan untuk semua umat manusia.
- Larangan berbuat zalim terhadap manusia maupun hewan dan tumbuhan.
- Larangan mencaci maki dan mencerca serta menghina juga menodai suatu agama, termasuk mengganggu dan menghalangi ibadah umat beragama lain.
- Kewajiban penegakan akhlak karimah, sekalipun dalam situasi perang melawan kafir.
Pilar-pilar di atas secara lengkap beserta dalil penjelasannya diulas dalam buku Wawasan Kebangsaan – Menuju NKRI Bersyariah (hlm. 75-89) karya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Dr. Habib Muhammad Rizieq Shihab, Lc. MA. DPMSS.
Meski demikian, bukan berarti seorang muslim dapat melakukan apa saja untuk non-Muslim dengan dalih toleransi. Pastinya toleransi memiliki segudang batasan yang tidak boleh dilanggar oleh pemeluk agama, diantaranya tentang KEPEMIMPINAN. Baik skala negara, provinsi, kota atau kabupaten, yang tentunya memiliki posisi vital dan strategis dalam menetukan arah kebijakan pemerintahannya.
Di sisi lain, agama menjadi salah satu faktor utama yang sangat mempengaruhi ketetapan kebijakan. Sehingga, kepemimpinan non-Muslim di daerah mayoritas muslim, akan menjadi celah pemimpin kafir untuk mengendalikan dan menguasai Umat Islam. Hal ini jelas bertentangan dengan salah satu prinsip dasar Islam, yaitu menjunjung tinggi
‘Izzatul Islam wal Muslimin, yaitu Kemuliaan Islam dan Muslimin.
Allah SWT berfirman:
“… dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa: 141)
Karenanya, Islam melarang umatnya untuk menjadikan non-Muslim sebagai pejabat pemerintah, pemangku kebijakan atau pemimpin. Dalam konteks ini, Al Imam As Syafi’i dalam kitabnya; Al Umm yang merupakan buku induk Madzhab Syafi’i (6/227) mengatakan:
“Bagiku (baca: Imam Syafi’i) , tidak boleh seorang hakim atau pemimpin Umat Islam untuk mengangkat sekretaris dari kalangan kafir dzimmi. Dan tidak boleh pula ia meletakkan kafir dzimmi pada posisi yang lebih tinggi dari seorang muslim. Dan sepatutnya kita memberi tahu Umat Islam bahwa mereka (Umat Islam) tidak butuh kepada non-Muslim.”
Panduan dalam memilih pemimpin Muslim
Memilih pemimpin Muslim adalah kewajiban bagi setiap Muslim, meski demikian, bukan berarti kita dapat memilih pemimpin muslim dengan sembarangan dan asal-asalan. Dalam prespektif Islam, seorang pemimpin selain harus beragama Islam, juga harus dapat memenuhi berbagai criteria untuk mengantarkan umat kepada kesejahteraan dan bukan memperkaya diri sendiri dengan jalan yang tidak halal, seperti yang umum terjadi yaitu korupsi.
Baca juga: Penting Bagi Muslim Untuk Memahami Surat Al-Maidah 51
Ibnu Kholdun dalam Mukadimah-nya yang yang populer (hlm.98) menyebutkan beberapa syarat seorang pemimpin Muslim, diantaranya adalah:
- Memiliki pengetahuan luas.
- Memenuhi kriteria ‘Adalah. (Dalam terminologi fikih, sifat ‘adalah yakni muslim yang tidak melakukan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil).
- Mampu melaksanakan tugas sebagai pemimpin.
- Sehat fisik dan memiliki panca indra yang lengkap.
Konsensus Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Padang Panjang (26 Januari 2009) menyebutkan bahwa memilih pemimpin Muslim harus orang Islam yang benar-benar beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah) dan memperjuangkan kepentingan Umat Islam, hukumnya adalah WAJIB.
Referensi: Buku HARAM Memilih Pemimpin Non-Muslim
Karya: As Sayyid Muhammad Hanif Alattas
إرسال تعليق