Perlu diketahui bahwa Surat Al Maidah 51 bukanlah satu-satunya ayat yang menjelaskan tentang keharaman memilih pemimpin kafir. Akan tetapi ada banyak ayat lain yang mengandung makna sama. Seperti Surat Ali Imran (28) dan (118), Al Mujadalah (22), Al Mumtahanah (1), At Taubah (71), dan masih banyak ayat lainnya. Hal ini telah disebutkan oleh Al Imam Al Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/25), dan Al Imam Fakhrurrozi dalam kitabnya At Tafsir Al Kabir (8/192), dan masih banyak para Ulama lainnya. Beberapa pembahasan berikut ini akan mengupas tentang arti kata “awliya” yang terdapat dalam Al-Qur’an khususnya Surat Al-maidah 51 terkait dengan bagaimana seorang Muslim memilih pemimpin dan memilih siapa saja yang harus mereka pilih sebagai orang-orang dekatnya.
Hal ini bukanlah isu SARA namun ini merupakan ajaran sebuah agama dimana bukan hanya Islam yang menyerukan kepada pemeluknya agar memilih pemimpin seiman. Ini juga bukan upaya mencampuradukkan antara agama dan politik karena dalam Islam Politik dan agama adalah satu kesatuan. Proses sejarah panjang penyebaran Islam tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan politik di dalamnya. Dimulai dari Rasulullah sebagai seorang pemimpin agama yang juga merupakan pemimpin sebuah Negara hingga penyebaran Islam di Indonesia sejak jaman kerajaan hingga ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Sebagaimana kita ketahui bersama kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah merupakan andil besar para pemuka Islam baik sebagai pemimpin Negara maupun pemimpin Umat. Merekalah yang mengobarkan semangat jihad dengan pekikan takbir untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Hal tersebut merupakan gambaran bagaimana politik dalam Islam dan nasionalisme Umat Islam telah mengobarkan semangat perlawanan (jika tidak boleh disebut sebagai Jihad) dalam melawan penjajah asing di Nusantara.
Kembali pada Surat Al-Maidah 51, kesamaan makna pada ayat-ayat di atas melahirkan keseragaman tafsir hukum dan hikmah yang dapat diambil. Dalam banyak titik, penafsiran ayat-ayat di atas bisa diterapkan untuk Surat Al Maidah 51, begitupun sebaliknya, sebagaimana dipaparkan oleh para Ulama Tafsir. Sehingga Surat Al-Maidah 51 tidak berdiri sendiri, akan tetapi ditopang, diperkuat dan dipertegas kandungan hukumnya dengan ayat-ayat yang lain.
Bukankah makna “awliya” adalah teman setia?
Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)
Al Quran tidak dapat dipahami dengan sembarangan. Karena Al Quran adalah Wahyu Ilahi dan Kitab Suci yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Sehingga, dalam memahami Al Quran, terlebih mengambil hukum yang ada di dalamnya, kita WAJIB tunduk kepada kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh para Ulama, agar pemahaman kita sesuai dengan pemahaman Rasulullah SAW, para Sahabat Nabi dan Ulama Salaf radhiallahu’anhum ajma’in. Salah satunya adalah kaidah-kaidah yang dituangkan dalam ilmu Ushul Fikih, sebagai metodologi pengambilan hukum dari Al Quran dan As Sunnah.
Kalimat yang digunakan dalam Surat Al Maidah 51 tersebut merupakan kata dalam bahasa Arab yang disebut sebagai shigot nahyi (bentuk larangan). Sedangkan dalam ilmu Ushul Fikih, sebagaimana disebutkan oleh Al Imam Az Zarkasyi dalam kitabnya, Al Bahru Al Muhith, bentuk nahyi (larangan) pada hakikatnya menunjukkan keharaman hal yang dilarang, kecuali ada qorinah (indikator) atau dalil lain yang merubahnya dari hukum Haram menjadi Makruh, dsb. Artinya, menjadikan kafir sebagai awliya’ dalam Surat Al Maidah 51 adalah terlarang, dengan kata lain adalah HARAM.
Lafadz awliya’ yang menjadi objek larangan dalam Surat Al Maidah 51, dalam bahasa Arab disebut sebagai Lafadz Nakiroh. Dan Syekhul Islam Al Imam Zakariya Al Anshori dalam kitabnya, Ghoyatul Wushul menyebutkan bahwa lafadz nakiroh yang berada dalam konteks larangan (nakiroh fi syiyaqinnahyi) menunjukkan arti umum. Maksudnya, lafadz awliya’ dalam ayat tersebut mencangkup segala bentuk Muwalah juga Wilayah baik berupa sahabat, teman setia, penolong, pemegang wewenang, pemangku amanah atau kebijakan publik, serta pemimpin. Sehingga, tidak ada yang boleh mengklaim bahwa lafadz awliya’ dibatasi cakupannya pada bentuk tertentu, seperti teman setia saja, kecuali takhsish (pembatasan cakupan lafadz) tersebut disertai dengan dalil yang absah dan diakui. Manakala dilakukan tanpa dalil, maka klaim takhsish tersebut adalah BATIL.
Baca juga: Inilah 18 Ayat Al-Qur’an Tentang Kenapa Muslim Harus Memilih Pemimpin Muslim
Menjadikan ayat ini sebagai dalil keharaman memilih kafir sebagai pemimpin, pemangku wewenang dan amanat atas orang Islam telah dilakukan oleh para Ulama sejak generasi Sahabat dan seterusnya. Sehingga, istidlal (penggunaan ayat sebagai dalil) mereka dalam hal ini telah memperjelas kita bahwa memilih pemimpin kafir dan pemangku kebijakan serta amanah bagi muslim, masuk dalam cakupan lafadz awliya’ yang diharamkan oleh Allah SWT.
Hal ini bukanlah isu SARA namun ini merupakan ajaran sebuah agama dimana bukan hanya Islam yang menyerukan kepada pemeluknya agar memilih pemimpin seiman. Ini juga bukan upaya mencampuradukkan antara agama dan politik karena dalam Islam Politik dan agama adalah satu kesatuan. Proses sejarah panjang penyebaran Islam tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan politik di dalamnya. Dimulai dari Rasulullah sebagai seorang pemimpin agama yang juga merupakan pemimpin sebuah Negara hingga penyebaran Islam di Indonesia sejak jaman kerajaan hingga ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Sebagaimana kita ketahui bersama kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah merupakan andil besar para pemuka Islam baik sebagai pemimpin Negara maupun pemimpin Umat. Merekalah yang mengobarkan semangat jihad dengan pekikan takbir untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Hal tersebut merupakan gambaran bagaimana politik dalam Islam dan nasionalisme Umat Islam telah mengobarkan semangat perlawanan (jika tidak boleh disebut sebagai Jihad) dalam melawan penjajah asing di Nusantara.
Arti kata Awliya dalam Surat Al-maidah 51
Kembali pada Surat Al-Maidah 51, kesamaan makna pada ayat-ayat di atas melahirkan keseragaman tafsir hukum dan hikmah yang dapat diambil. Dalam banyak titik, penafsiran ayat-ayat di atas bisa diterapkan untuk Surat Al Maidah 51, begitupun sebaliknya, sebagaimana dipaparkan oleh para Ulama Tafsir. Sehingga Surat Al-Maidah 51 tidak berdiri sendiri, akan tetapi ditopang, diperkuat dan dipertegas kandungan hukumnya dengan ayat-ayat yang lain.
Lalu, bagaimana kita dapat memahami bahwa Surat Al Maidah 51 dan ayat lainnya menunjukan keharaman memilih kafir sebagai pemimpin?
Bukankah makna “awliya” adalah teman setia?
Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)
Al Quran tidak dapat dipahami dengan sembarangan. Karena Al Quran adalah Wahyu Ilahi dan Kitab Suci yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Sehingga, dalam memahami Al Quran, terlebih mengambil hukum yang ada di dalamnya, kita WAJIB tunduk kepada kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh para Ulama, agar pemahaman kita sesuai dengan pemahaman Rasulullah SAW, para Sahabat Nabi dan Ulama Salaf radhiallahu’anhum ajma’in. Salah satunya adalah kaidah-kaidah yang dituangkan dalam ilmu Ushul Fikih, sebagai metodologi pengambilan hukum dari Al Quran dan As Sunnah.
Kalimat yang digunakan dalam Surat Al Maidah 51 tersebut merupakan kata dalam bahasa Arab yang disebut sebagai shigot nahyi (bentuk larangan). Sedangkan dalam ilmu Ushul Fikih, sebagaimana disebutkan oleh Al Imam Az Zarkasyi dalam kitabnya, Al Bahru Al Muhith, bentuk nahyi (larangan) pada hakikatnya menunjukkan keharaman hal yang dilarang, kecuali ada qorinah (indikator) atau dalil lain yang merubahnya dari hukum Haram menjadi Makruh, dsb. Artinya, menjadikan kafir sebagai awliya’ dalam Surat Al Maidah 51 adalah terlarang, dengan kata lain adalah HARAM.
Lafadz awliya’ yang menjadi objek larangan dalam Surat Al Maidah 51, dalam bahasa Arab disebut sebagai Lafadz Nakiroh. Dan Syekhul Islam Al Imam Zakariya Al Anshori dalam kitabnya, Ghoyatul Wushul menyebutkan bahwa lafadz nakiroh yang berada dalam konteks larangan (nakiroh fi syiyaqinnahyi) menunjukkan arti umum. Maksudnya, lafadz awliya’ dalam ayat tersebut mencangkup segala bentuk Muwalah juga Wilayah baik berupa sahabat, teman setia, penolong, pemegang wewenang, pemangku amanah atau kebijakan publik, serta pemimpin. Sehingga, tidak ada yang boleh mengklaim bahwa lafadz awliya’ dibatasi cakupannya pada bentuk tertentu, seperti teman setia saja, kecuali takhsish (pembatasan cakupan lafadz) tersebut disertai dengan dalil yang absah dan diakui. Manakala dilakukan tanpa dalil, maka klaim takhsish tersebut adalah BATIL.
Baca juga: Inilah 18 Ayat Al-Qur’an Tentang Kenapa Muslim Harus Memilih Pemimpin Muslim
Menjadikan ayat ini sebagai dalil keharaman memilih kafir sebagai pemimpin, pemangku wewenang dan amanat atas orang Islam telah dilakukan oleh para Ulama sejak generasi Sahabat dan seterusnya. Sehingga, istidlal (penggunaan ayat sebagai dalil) mereka dalam hal ini telah memperjelas kita bahwa memilih pemimpin kafir dan pemangku kebijakan serta amanah bagi muslim, masuk dalam cakupan lafadz awliya’ yang diharamkan oleh Allah SWT.
إرسال تعليق