Sekarang di sektor komunikasi, khususnya media online, terdapat orang-orang bayaran (professional communicator) yang kerjaannya membuat berita dengan memalsukan fakta dan meme-meme pendukung. Mereka dibayar untuk memproduksi pesan supaya mendistorsi dan memanipulasi informasi yang ada di masyarakat agar menciptakan opini publik bahkan gerakan politik sesuai pesanan aktor politik yang berkepentingan di belakang layar. Bahkan ditengarai dana asingpun banyak mengalir untuk menciptakan keadaan tertentu sesuai kepentingan mereka.

Fakta-fakta palsu pesanan politik itu kemudian diberitakan serentak dan terus menerus di beberapa media online abal-abal jaringan mereka, kemudian dishare oleh para buzzer yang sudah disiapkan sebagai pasukan siber.

Di AMerika Serikat komunikator profesional dibayar untuk bikin media abal-abal di internet untuk dishare dan dibenarkan oleh teman-teman buzzernya sudah cukup lama. Ryan Holiday menulis pengakuannya dlm buku "Trust me I am lying, The confession of an media manipulator" (2012).

Pengalaman Ryan inilah yang kemudian dicontoh dan dikembangkan di Indonesia. Sekarang media dan akun abal-abal jadi marak, membiaskan informasi di media sosial.

Di masyarakat kita berita palsu yg sensasional, beserta meme buatan itu justru dianggap menarik dan disukai. Banyak warga masyarakat tdk peduli asal, sumber, kualitas apalagi kebenaran informasi yg mereka terima. Mereka yg punya sikap tdk kritis bahkan gemar ikut menyebarkan dan menganggap info-info palsu itu A1. Sehingga informasi-informasi buruk yang tidak benar tersebut akan menjadi words of mouth yang laris disebarkan.

Terjadilah Ten Ninety Communication, komunikasi 10 : 90. Dimana hasil penyebaran komunikasi itu, justru 90% dilakukan suka rela oleh masyarakat yg suka pd informasi palsu itu. Sedang pelaku komunikasi politik yang sesungguhnya hanya melakukan 10% saja. Tapi hasilnya bisa menjadi kekuatan besar karena didukung "ketidaktahuan" masyarakat yg ikut menyebarkannya. Lewat mass self communication, informasi palsu itu tersebar, bahkan juga dikonfirmasi atau diperkuat oleh media-media abal abal lain yang memiliki misi senada.

Hasilnya banyak informasi palsu dianggap sebagai kebenaran oleh publik. Saat informasi itu makin banyak dishare dan dibahas, maka orang-orang yang tidak sependapat, atau kritis pada kasus-kasus cenderung diam, karena menghindari "keributan". Lama-lama suara yang membenarkan informasi palsu tersebut bisa mendominasi media sosial. Karena mereka yg tdk setuju cenderung makin diam (silent). Mereka khawatir sdg menghadapi "suara mayoritas" (padahal tdk, itu hanya persepsi). Disitulah kemudian informasi palsu tersebut, tak hanya dianggap sebagai suara mayoritas, tetapi juga menjadi nilai-nilai yang meresap dan mempengaruhi sikap politik.

Itulah kekuatan propaganda komunikasi lewat media sosial yg menciptakan Spiral of Silence. Korban-korbannya tidakk sadar karena banyak yang isi propaganda tersebut sesuai dengan predisposisi atau kecenderungan sikap mereka sebelum diterpa informasi palsu itu.

Idealnya, memang harus ada counter propaganda yang mengungkap fakta-fakta. Sayangnya gerakan kebaikan sering "kalah" dengan yg negatif. Maka salah satu cara menangkalnya adalah, dengan tidak membiarkan kita menjadi korban propaganda politik yg akan memporak porandakan negeri ini.
Saatnya setiap memperoleh informasi negatif, dicheck dulu siapa sumbernya?
Terpercaya atau tidak?
Kemudian dicheck isinya logis apa tdk?
Apa isinya berbasis suudzon atau khusnudzon?
Kalau justru mudzarotnya lbh banyak, sebaiknya tdk usah kita ikut-ikut ngeshare informasi yang isi dan sumbernya tdk jelas. Kecuali kita sendiri memang bagian dari orang-orang yang mengharapkan kekacuan dan kehancuran negeri ini. Tapi apakah niat kita seburuk itu? Saya yakin tidak.

Henry Subiakto
Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga

2 Komentar

  1. Saya pernah membaca buku Ryan Holiday “Trust me I am lying, The confession of an media manipulator“.

    Bagaimana pun, membaca buku tersebut, saya semakin menyadari bahwa bagi para “koki” di “dapur-dapur media” yang terpenting adalah klik, klik, dan klik. Share, share, dan share! Persetan dengan kekalutan yang ditimbulkan, masa bodo dengan “kebenaran”, itu semuanya tidak penting! Yang mereka tahu, kantong semakin tebal, itu saja, titik! Meski bagaimana pun harus kita akui bahwa mereka pandai juga memainkan peran, memainkan psikologi dan kecenderungan pembaca berita di era medsos ini.

    BalasHapus
  2. Saya pernah membaca buku Ryan Holiday “Trust me I am lying, The confession of an media manipulator“.

    Bagaimana pun, membaca buku tersebut, saya semakin menyadari bahwa bagi para “koki” di “dapur-dapur media” yang terpenting adalah klik, klik, dan klik. Share, share, dan share! Persetan dengan kekalutan yang ditimbulkan, masa bodo dengan “kebenaran”, itu semuanya tidak penting! Yang mereka tahu, kantong semakin tebal, itu saja, titik! Meski bagaimana pun harus kita akui bahwa mereka pandai juga memainkan peran, memainkan psikologi dan kecenderungan pembaca berita di era medsos ini.

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama